BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum lingkungan dalam bidang ilmu hukum, merupakan salah satu bidang ilmu hukum yang paling strategis karena hukum lingkungan mempunyai banyak segi yaitu segi hukum administrasi, segi hukum pidana, dan segi hukum perdata. Dengan demikian, tentu saja hukum lingkungan memiliki aspek yang lebih kompleks. Sehingga untuk mendalami hukum lingkungan itu sangat mustahil apabila dilakukan seorang diri, karena kaitannya yang sangat erat dengan segi hukum yang lain yang mencakup pula hukum lingkungan di dalamnya.
Dalam pengertian sederhana, hukum lingkungan diartikan sebagai hukum yang mengatur tatanan lingkungan (lingkungan hidup), di mana lingkungan mencakup semua benda dan kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya yang terdapat dalam ruang di mana manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia serta jasad-jasad hidup lainnya.
Dalam pengertian secara modern, hukum lingkungan lebih berorientasi pada lingkungan atau Environment-Oriented Law, sedang hukum lingkungan yang secara klasik lebih menekankan pada orientasi penggunaan lingkungan atau Use-Oriented Law. Hukum Lingkungan Modern Dalam hukum lingkungan modern, ditetapkan ketentuan dan norma-norma guna mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya demi untuk menjamin kelestariannya agar dapat secara langsung terus-menerus digunakan oleh generasi sekarang maupun generasi-generasi mendatang.
Drupsteen mengemukakan, bahwa Hukum Lingkungan (Millieu recht) adalah hukum yang berhubungan dengan lingkungan alam (Naturalijk milleu) dalam arti seluas-luasnya. Ruang lingkupnya berkaitan dengan dan ditentukan oleh ruang lingkup pengelolaan lingkungan. Mengingat pengelolaan lingkungan dilakukan terutama oleh Pemerintah, maka Hukum Lingkungan sebagian besar terdiri atas Hukum Pemerintahan (bestuursrecht). Hukum Lingkungan merupakan instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan hidup, dengan demikian hukum lingkungan pada hakekatnya merupakan suatu bidang hukum yang terutama sekali dikuasai oleh kaidah-kaidah hukum tata usaha negara atau hukum pemerintahan. Untuk itu dalam pelaksanaannya aparat pemerintah perlu memperhatikan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur/General Principles of Good Administration). Hal ini dimaksudkan agar dalam pelaksanaan kebijaksanaannya tidak menyimpang dari tujuan pengelolaan lingkungan hidup.
Dalam pengertian sederhana, hukum lingkungan diartikan sebagai hukum yang mengatur tatanan lingkungan (lingkungan hidup), di mana lingkungan mencakup semua benda dan kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya yang terdapat dalam ruang di mana manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia serta jasad-jasad hidup lainnya.
Dalam pengertian secara modern, hukum lingkungan lebih berorientasi pada lingkungan atau Environment-Oriented Law, sedang hukum lingkungan yang secara klasik lebih menekankan pada orientasi penggunaan lingkungan atau Use-Oriented Law. Hukum Lingkungan Modern Dalam hukum lingkungan modern, ditetapkan ketentuan dan norma-norma guna mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutunya demi untuk menjamin kelestariannya agar dapat secara langsung terus-menerus digunakan oleh generasi sekarang maupun generasi-generasi mendatang.
Drupsteen mengemukakan, bahwa Hukum Lingkungan (Millieu recht) adalah hukum yang berhubungan dengan lingkungan alam (Naturalijk milleu) dalam arti seluas-luasnya. Ruang lingkupnya berkaitan dengan dan ditentukan oleh ruang lingkup pengelolaan lingkungan. Mengingat pengelolaan lingkungan dilakukan terutama oleh Pemerintah, maka Hukum Lingkungan sebagian besar terdiri atas Hukum Pemerintahan (bestuursrecht). Hukum Lingkungan merupakan instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan hidup, dengan demikian hukum lingkungan pada hakekatnya merupakan suatu bidang hukum yang terutama sekali dikuasai oleh kaidah-kaidah hukum tata usaha negara atau hukum pemerintahan. Untuk itu dalam pelaksanaannya aparat pemerintah perlu memperhatikan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur/General Principles of Good Administration). Hal ini dimaksudkan agar dalam pelaksanaan kebijaksanaannya tidak menyimpang dari tujuan pengelolaan lingkungan hidup.
B. Pembatasan Masalah
Pada makalah ini, penulis akan membahas tentang peranan pemerintah daerah dalam rangka penegakan hukum lingkungan
BAB II
PERUMUSAN DAN ANALISA MASALAH
Di UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, diatur beberapa instrument pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup terhadap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan. Salah satu instrument itu adalah Amdal.. Menurut Pasal 22 UU No.32 Tahun 2009, disebutkan ;
(1) Setiap usaha dan /atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Amdal;
(2) Dampak penting ditentukan berdasarkan kreteria:
a. Besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak bencana usaha dan/atau kegiatan;
b. Luas wilayah penyebaran dampak;
c. Banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak;
d. Sifat kumulatif dampak;
e. Berbalik atau tidak terbaliknya dampak; dan/atau
f. Kreteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), adalah merupakan kajian mengenai dampak besar dan penting dalam pengambilan keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Suatu rencana usaha kegiatan dapat dinyatakan tidak layak, jika dalam ini berdasarkan rencana Amdal yang dilakukan, dikhawatirkan berdampak negatif terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan sekitar.
Salah satu yang menjadi masalah di negeri ini, dan patut diwaspadai adalah bahwa invenstasi itu bisa menyampingkan masalah dampak lingkungan dan keberlanjutan pembangunan. Dalam banyak kasus, walaupun hasil amdal negative terhadap usaha atau kegiatan , tetap dilanjutkan suatu usaha. Misalnya Tragedi Buyat, yang menguras sisi kemanusia kita akibat pertambangan, adalah kesalahan dari rencana studi kelayakaan Amdal, kemudian tragedi lumpur lapindo di Sidarjo, yang disinyalir Amdal dibuat belakangan. Tentu aspek lingkungan diabaikan. Hal-hal di atas menjadi simbol nyata kerusakan lingkungan , dan ironisnya ada oknum penjabat yang ingin mengkais rejeki dari penderitaan orang lain dengan menjadikan tempat wisata lapindo. Ironis!!!.
Banyaknya tragedy, bencana, kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Tidak serta merta bisa meminta pertanggujwaban pada siapa? Pejabat yang bisa dituntut atas kesalahan ijin lingkungan yang dibuat, khususnya dalam hal ini untuk pembuatan amdal. Perubahan UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, menjadi UU No.32 Tahun 2009, sebagai upaya perlindungan yang nyata terhadapperubahan lingkungan hidup kedepan.
Perkembangan baru yang menarik, dalam berkaitan dengan ketentuan Amdal di UU No.32 Tahun 2009, telah diatur adanya acaman pidana dan denda bagi pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan yang tanpa dilengkapi dengan Amdal atau UKL-UPL.
Di UU No.23 Tahun 1997, tidak diatur sanksi pidana maupun adminitrasi berupa denda bagi pejabat pemberi izin lingkungan, perubahan UUPPPLH ini dengan tegas menyatakan dalam Pasal 111 UU No.32 Tahun 2009, sanksi bagi pejabat yakni;
(1) pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak RP.3.000.000.000,00 (Tiga milyar rupiah) ;
(2) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkab izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pinjara penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (Tiga milyar rupiah).
Kemudian pada Pasal 112 UU No.32 Tahun 2009, menyebutkan,
“ setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud pasal 71 dan 72, yang mengakibatkan terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.500.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Keberadaan sanksi pidana dan admnitrasi dalam UU No.32 Tahun 2009, sangat penting dalam kaitannya dengan otonomi daerah dalam penyelenggaran pemerintahan didaerah, dalam hal ini termasuk dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. dimana banyak daerah akibat eroferia politik untuk otonomi daerah menyampingkan lingkungan hidup.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
BAB II
PERUMUSAN DAN ANALISA MASALAH
Di UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, diatur beberapa instrument pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup terhadap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan. Salah satu instrument itu adalah Amdal.. Menurut Pasal 22 UU No.32 Tahun 2009, disebutkan ;
(1) Setiap usaha dan /atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Amdal;
(2) Dampak penting ditentukan berdasarkan kreteria:
a. Besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak bencana usaha dan/atau kegiatan;
b. Luas wilayah penyebaran dampak;
c. Banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak;
d. Sifat kumulatif dampak;
e. Berbalik atau tidak terbaliknya dampak; dan/atau
f. Kreteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), adalah merupakan kajian mengenai dampak besar dan penting dalam pengambilan keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Suatu rencana usaha kegiatan dapat dinyatakan tidak layak, jika dalam ini berdasarkan rencana Amdal yang dilakukan, dikhawatirkan berdampak negatif terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan sekitar.
Salah satu yang menjadi masalah di negeri ini, dan patut diwaspadai adalah bahwa invenstasi itu bisa menyampingkan masalah dampak lingkungan dan keberlanjutan pembangunan. Dalam banyak kasus, walaupun hasil amdal negative terhadap usaha atau kegiatan , tetap dilanjutkan suatu usaha. Misalnya Tragedi Buyat, yang menguras sisi kemanusia kita akibat pertambangan, adalah kesalahan dari rencana studi kelayakaan Amdal, kemudian tragedi lumpur lapindo di Sidarjo, yang disinyalir Amdal dibuat belakangan. Tentu aspek lingkungan diabaikan. Hal-hal di atas menjadi simbol nyata kerusakan lingkungan , dan ironisnya ada oknum penjabat yang ingin mengkais rejeki dari penderitaan orang lain dengan menjadikan tempat wisata lapindo. Ironis!!!.
Banyaknya tragedy, bencana, kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Tidak serta merta bisa meminta pertanggujwaban pada siapa? Pejabat yang bisa dituntut atas kesalahan ijin lingkungan yang dibuat, khususnya dalam hal ini untuk pembuatan amdal. Perubahan UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, menjadi UU No.32 Tahun 2009, sebagai upaya perlindungan yang nyata terhadapperubahan lingkungan hidup kedepan.
Perkembangan baru yang menarik, dalam berkaitan dengan ketentuan Amdal di UU No.32 Tahun 2009, telah diatur adanya acaman pidana dan denda bagi pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan yang tanpa dilengkapi dengan Amdal atau UKL-UPL.
Di UU No.23 Tahun 1997, tidak diatur sanksi pidana maupun adminitrasi berupa denda bagi pejabat pemberi izin lingkungan, perubahan UUPPPLH ini dengan tegas menyatakan dalam Pasal 111 UU No.32 Tahun 2009, sanksi bagi pejabat yakni;
(1) pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak RP.3.000.000.000,00 (Tiga milyar rupiah) ;
(2) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkab izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pinjara penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (Tiga milyar rupiah).
Kemudian pada Pasal 112 UU No.32 Tahun 2009, menyebutkan,
“ setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud pasal 71 dan 72, yang mengakibatkan terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.500.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Keberadaan sanksi pidana dan admnitrasi dalam UU No.32 Tahun 2009, sangat penting dalam kaitannya dengan otonomi daerah dalam penyelenggaran pemerintahan didaerah, dalam hal ini termasuk dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. dimana banyak daerah akibat eroferia politik untuk otonomi daerah menyampingkan lingkungan hidup.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Pada hakekatnya hukum mengandung ide atau konsep dan dengan demikian boleh digolongkan kepada sesuatu yang abstrak. Kedalam kelompok yang abstrak ini termasuk ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfataan sosial. Dengan demikian apabila kita berbicara penegakan hukum, maka pada hakekatnya kita berbicara mengenai ide-ide atau konsep yang notabene adalah abstrak itu. Dirumuskan secara lain, maka penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan (Satjipto Rahadjo, 1981: 15)
Dari segi praktis, penegakan hukum merupakan upaya mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan yang secara umum dan individual berlaku melalui pengawasan dan penerapan sanksi. Penegakan hukum berarti preventif, artinya pengawasan aktif yang dilakukan terhadap kepatuhan atas peraturan tanpa kejadian langsung yang menyangkut kejadian kongrit yang menimbulkan dugaan bahwa peraturan peraturan hukum telah dilanggar. Upaya ini dilakukan dengan penyuluhan, pemantauan dan penggunaan kewenangan yang bersifat pengawasan. Penegakan hukum
represif, dilaksanakan dalam hal perbuatan melanggar peraturan dan bertujuan untuk mengakhiri secara langsung perbuatan terlarang tersebut (Arief Hidayat, Adji Samekto FX, 1998: 23)
Secara normatif penegakan hukum adalah mudah, tetapi dalam implentasinya di lapangan akan menemui kesulitan atau hambatan-hambatan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum. Tidak semua orang akan dengan mudah mau untuk mentaati hukum, yang sering terjadi adalah bagaimana orang bisa menghindari hukum tersebut. Memang apabila kita kaji lebih lanjut penegakan hukum tidak hanya menjadi tanggung jawab aparat penegak hukum saja tetapi merupakan tanggung jawab masyarakat. Sehingga yang perlu kita pecahkan juga adalah bagaimana agar dapat menciptakan kesadaran bagi masyarakat.
Penegakan hukum lingkungan sesungguhnya bukan merupakan satu-satunya cara atau alat penataan (compliance tool). Penataan dapat ditempuh cara-cara lain seperti instrumen ekonomi, public pressure yang efektif, company’s rating (pengumuman perusahaan yang berprestasi dalam pengelolaan lingkungan dan yang melakukan pelanggaran), pendekatan melalui mediasi dan negosiasi, AMDAL dan perizinan. Piranti yang seperti itu juga merupakan strategi yang di kembangkan pemerintah Indonesia (Mas Ahmad Santoso, 1994: 168).
Berdasarkan ketentuan Undang-undang nomor 23 tahun 1997 dapat dikatakan bahwa sistem penegakan hukum lingkungan di Indonesia terdiri dari tahap penataan dan tahap penindakan dan meliputi aspek hukum Administrasi, hukum Perdata, dan aspek hukum Pidana termasuk pula hukum Internasional (Daud Silalahi, 1996: 8). Maka penegakan hukum lingkungan cenderung memberikan peluang untuk mempersoalkan aspek-aspek keempat cabang hukum tersebut (Arief Hidayat, Adji Samekto, 1998: 28).
Keempat aspek cabang hukum tersebut dapat dilaksanakan satu per satu misalnya aspek hukum Perdata-nya saja atau aspek sanksinya saja, tetapi dapat juga dapat dilaksanakan secara bersamaan. Ketika sudah memasuki proses hukum seperti ini dalam artian bahwa hukum litigasi, maka peranan pengadilan akan mempunyai kedudukan yang sangat penting.
Ditinjau dari segi administrasi, sanksi administrasi mempunyai fungsi intrumental yaitu pencegahan dan penanggulangan perbuatan terlarang terutama ditujukan terhadap perlindungan yang dijaga oleh ketentuan hukum yang dilanggar. Upaya penegakan hukum melalui sanksi administrasi dapat dilakukan melalui kegiatan yang terkait dengan persyaratan perizinan, baku mutu lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan dan sebagainya. Sanksi ini dapat berupa teguran lisan, paksaan pemerintah, uang paksa, penutupan tempat usaha, pemberhentian kegiatan perusahaan dan pencabutan izin melalui proses teguran. Penerapan sanksi-sanksi administrasi oleh eksekutif secara ketat dan konsisten mempunyai dampak preventif dalam penegakan hukum lingkungan. Pihak eksekutif lebih memiliki sarana, fasilitas dan kewenangan untuk menjatuhkan sansi-sanksi administrasi yang apabila secara konsisten dan tegas dilaksanakan dan ditindaklanjuti, maka peranan pengadilan hanya sekunder dalam menjaga lingkungan hidup, tetapi apabila diteruskan ke pengadilan maka pengadilan diharapkan berperan partisipatif (Paulus Efendi Lotulung, 1994: 58).
Ditinjau dari aspek hukum Perdata, dalam kasus pencemaran atau perusakan lingkungan yang berdampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, atau menghasilkan limbah yang berbahaya, pihak pelakunya bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan. Penerapan didasarkan atas prinsip strict liability (tanggung jawab secara mutlak). Menurut prinsip ini kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pemberian ganti kerugian, pihak pencemar harus memberi ganti rugi secara seketika. Akan tetaapi kerugian yang terjadi harus benar-benar ada dan terbukti secara jelas dan menyakinkan, ganti rugi diberikan untuk seluruh kerugian menurut batas tertentu (Arief Hidayat, Adji Samekto FX, 1996: 28). Aspek hukum perdata ini merupakan pemberian ganti rugi secara materiil, yang harus dibuktikan di dalam proses peradilan.
Dari segi praktis, penegakan hukum merupakan upaya mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan yang secara umum dan individual berlaku melalui pengawasan dan penerapan sanksi. Penegakan hukum berarti preventif, artinya pengawasan aktif yang dilakukan terhadap kepatuhan atas peraturan tanpa kejadian langsung yang menyangkut kejadian kongrit yang menimbulkan dugaan bahwa peraturan peraturan hukum telah dilanggar. Upaya ini dilakukan dengan penyuluhan, pemantauan dan penggunaan kewenangan yang bersifat pengawasan. Penegakan hukum
represif, dilaksanakan dalam hal perbuatan melanggar peraturan dan bertujuan untuk mengakhiri secara langsung perbuatan terlarang tersebut (Arief Hidayat, Adji Samekto FX, 1998: 23)
Secara normatif penegakan hukum adalah mudah, tetapi dalam implentasinya di lapangan akan menemui kesulitan atau hambatan-hambatan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum. Tidak semua orang akan dengan mudah mau untuk mentaati hukum, yang sering terjadi adalah bagaimana orang bisa menghindari hukum tersebut. Memang apabila kita kaji lebih lanjut penegakan hukum tidak hanya menjadi tanggung jawab aparat penegak hukum saja tetapi merupakan tanggung jawab masyarakat. Sehingga yang perlu kita pecahkan juga adalah bagaimana agar dapat menciptakan kesadaran bagi masyarakat.
Penegakan hukum lingkungan sesungguhnya bukan merupakan satu-satunya cara atau alat penataan (compliance tool). Penataan dapat ditempuh cara-cara lain seperti instrumen ekonomi, public pressure yang efektif, company’s rating (pengumuman perusahaan yang berprestasi dalam pengelolaan lingkungan dan yang melakukan pelanggaran), pendekatan melalui mediasi dan negosiasi, AMDAL dan perizinan. Piranti yang seperti itu juga merupakan strategi yang di kembangkan pemerintah Indonesia (Mas Ahmad Santoso, 1994: 168).
Berdasarkan ketentuan Undang-undang nomor 23 tahun 1997 dapat dikatakan bahwa sistem penegakan hukum lingkungan di Indonesia terdiri dari tahap penataan dan tahap penindakan dan meliputi aspek hukum Administrasi, hukum Perdata, dan aspek hukum Pidana termasuk pula hukum Internasional (Daud Silalahi, 1996: 8). Maka penegakan hukum lingkungan cenderung memberikan peluang untuk mempersoalkan aspek-aspek keempat cabang hukum tersebut (Arief Hidayat, Adji Samekto, 1998: 28).
Keempat aspek cabang hukum tersebut dapat dilaksanakan satu per satu misalnya aspek hukum Perdata-nya saja atau aspek sanksinya saja, tetapi dapat juga dapat dilaksanakan secara bersamaan. Ketika sudah memasuki proses hukum seperti ini dalam artian bahwa hukum litigasi, maka peranan pengadilan akan mempunyai kedudukan yang sangat penting.
Ditinjau dari segi administrasi, sanksi administrasi mempunyai fungsi intrumental yaitu pencegahan dan penanggulangan perbuatan terlarang terutama ditujukan terhadap perlindungan yang dijaga oleh ketentuan hukum yang dilanggar. Upaya penegakan hukum melalui sanksi administrasi dapat dilakukan melalui kegiatan yang terkait dengan persyaratan perizinan, baku mutu lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan dan sebagainya. Sanksi ini dapat berupa teguran lisan, paksaan pemerintah, uang paksa, penutupan tempat usaha, pemberhentian kegiatan perusahaan dan pencabutan izin melalui proses teguran. Penerapan sanksi-sanksi administrasi oleh eksekutif secara ketat dan konsisten mempunyai dampak preventif dalam penegakan hukum lingkungan. Pihak eksekutif lebih memiliki sarana, fasilitas dan kewenangan untuk menjatuhkan sansi-sanksi administrasi yang apabila secara konsisten dan tegas dilaksanakan dan ditindaklanjuti, maka peranan pengadilan hanya sekunder dalam menjaga lingkungan hidup, tetapi apabila diteruskan ke pengadilan maka pengadilan diharapkan berperan partisipatif (Paulus Efendi Lotulung, 1994: 58).
Ditinjau dari aspek hukum Perdata, dalam kasus pencemaran atau perusakan lingkungan yang berdampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, atau menghasilkan limbah yang berbahaya, pihak pelakunya bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan. Penerapan didasarkan atas prinsip strict liability (tanggung jawab secara mutlak). Menurut prinsip ini kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pemberian ganti kerugian, pihak pencemar harus memberi ganti rugi secara seketika. Akan tetaapi kerugian yang terjadi harus benar-benar ada dan terbukti secara jelas dan menyakinkan, ganti rugi diberikan untuk seluruh kerugian menurut batas tertentu (Arief Hidayat, Adji Samekto FX, 1996: 28). Aspek hukum perdata ini merupakan pemberian ganti rugi secara materiil, yang harus dibuktikan di dalam proses peradilan.
Ditinjau dari segi hukum Pidana, penggunaan sanksi hukum Pidana lebih bersifat subsider, bukan sebagai sarana yang primer dalam artian sebagai penunjang hukum administrasi. Berlakunya hukum pidana tetap memperhatikan asas subsidaritas, bahwa hukum pidana dapat digunakan apabila hukum lain misalnya hukum administrasi dan saksi perdata dan alternatif penyelesaian lingkungan hidup tidak efektif atau tingkat pelaku relatif berat atau perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat.
BAB IV
PEMBAHASAN
Berbicara pengusaha tidak akan dapat dilepaskan dari perusahaan sebagai suatu lembaga yang memproduksi barang, namun demikian maju mundurnya perusahaan dapat ditentukan oleh manajemen pengusahanya selaku pengelola atau sebagai pemilik perusahaan. Perusahaan adalah suatu organisasi alat produksi modal dan kerja yang berusaha memenuhi kebutuhan masyarakat, dengan tujuan memperoleh keuntungan. Untuk mendirikan sebuah perusahaan diperlukan suatu modal, kerja (kerja jasmani dan rohani), keahlian berorganisasi dan berusaha (managerial, organisasi, dan teknological skill) serta kemungkinan pemasaran (Hasan Amin, 1990: 9). Eksistesi perusahaan dalam konteks ini hendaknya berorientasi pada ekonomi yang berpihak pada masyarakat artinya dapat meningkatkan ekonomi masyarakat, sehingga tidak saja menjawab permasalahan-permasalahan kemiskinan dan ketimpangan tetapi juga mengimbangi kecenderungan dominasi pasar oleh konglomerat dan menciptakan manfaat bagi masyarakat. Adanya perusahaan harus menyebabkan terserapnya tenaga kerja, sehingga dengan banyaknya tenaga kerja yang ada dalam suatu perusahaan tentu akan meningkatkan pendapatan masyarakat, dalam arti bahwa perusahaan harus mengindahkan aturan-aturan upah kerja minimum yang ditentukan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah. Semakin banyak
perusahaan yang berdiri di Indonesia tentu akan semakin terjadi persaingan pasar, produktivitas bertambah sehingga pendapatan masyarakat juga bertambah. Namun ini tidak berarti bahwa perkembangan ekonomi hanya ditujukan pada perbaikan nasib golongan miskin saja, tetapi masyarakat merupakan sistem yang mengarahkan dan menggerakkan perekonomian nasional (Umar Juoro, 1995:9). Dengan demikian perusahaan dalam perkembangannnya diberikan keleluasaan bersesuaian dengan prinsip prinsip ekonomi rakyat yang mementingkan persaingan sehat, akses sama terbuka dengan pasar dan sarana produksi termasuk kredit, akses yang sama terbuka pada informasi, dan sejauh mungkin memadukan pertumbuhan (keuntungan) dan pemerataan. Hal ini dapat dipahami bahwa perusahaan sebagai pusat kegiatan ekonomi masyarakat. Keberadaan perusahan ini tentu akan terjadi hubungan yang simbiosis mutualisme antara perusahaan dengan masyarakat, sebagai contoh perusahaan memperoleh keuntungan dari usahanya itu dan masyarakat dapat bekerja dalam perusahaan tersebut sehingga antara perusahaan dan masyarakat merasa diuntungkan dengan adanya perusahaan ini. Selanjutnya masyarakat dapat juga mendirikan pasar-pasar, perkampungan-perkampungan baru yang terletak di dekat lokasi perusahaan dan akhirnya dapat mempengaruhi pembangunan ekonomi bagi masyarakat.
perusahaan yang berdiri di Indonesia tentu akan semakin terjadi persaingan pasar, produktivitas bertambah sehingga pendapatan masyarakat juga bertambah. Namun ini tidak berarti bahwa perkembangan ekonomi hanya ditujukan pada perbaikan nasib golongan miskin saja, tetapi masyarakat merupakan sistem yang mengarahkan dan menggerakkan perekonomian nasional (Umar Juoro, 1995:9). Dengan demikian perusahaan dalam perkembangannnya diberikan keleluasaan bersesuaian dengan prinsip prinsip ekonomi rakyat yang mementingkan persaingan sehat, akses sama terbuka dengan pasar dan sarana produksi termasuk kredit, akses yang sama terbuka pada informasi, dan sejauh mungkin memadukan pertumbuhan (keuntungan) dan pemerataan. Hal ini dapat dipahami bahwa perusahaan sebagai pusat kegiatan ekonomi masyarakat. Keberadaan perusahan ini tentu akan terjadi hubungan yang simbiosis mutualisme antara perusahaan dengan masyarakat, sebagai contoh perusahaan memperoleh keuntungan dari usahanya itu dan masyarakat dapat bekerja dalam perusahaan tersebut sehingga antara perusahaan dan masyarakat merasa diuntungkan dengan adanya perusahaan ini. Selanjutnya masyarakat dapat juga mendirikan pasar-pasar, perkampungan-perkampungan baru yang terletak di dekat lokasi perusahaan dan akhirnya dapat mempengaruhi pembangunan ekonomi bagi masyarakat.
Categories:
0 komentar:
Posting Komentar