Sabtu, 15 Januari 2011

PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN PADA ERA REFORMASI

Iss Moerad 17.59

Penegakan Hukum Lingkungan pada Era Reformasi -- Absori 221

Absori, S.H., M.Hum.
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta
Abstract
Environmental problem in the context of sustainable development is not
part away of market mechanism which does not take care of social and
environment signs. For this reason, it is necessary to do corrections on its weakness on
intention to make balance on social and environment development in one hand and
the economic development on the other hand. Intervention can be done by three parties
institution, consist of Government, Entrepreneurs, and the Society. Among the
three force must be arranged “check and balance” relationship at the same level in
order that the three force can be remain continually in balance.
Kata kunci: ultimum remedium, sistem satu atap, rejim inkrementalisme
PENDAHULUAN
Pencemaran dan kerusakan lingkungan di Indonesia telah terjadi di manamana.
Dari tahun ke tahun akumulasinya selalu bertambah dan cenderung tidak
dapat terkendali, seperti kerusakan dan kebakaran hutan, banjir pada waktu
musim punghujan, dan kekeringan pada waktu musim kemarau. Berbagai bencana
alam terjadi di berbagai daerah, seperti banjir bandang dan tanah longsor,
terjadi di Pacet (2002), Bohorok (2003), Jember (2005), Bajarnegara (2006)
dan Gempa Bumi di Yogyakarta (2006).
Demikian juga kerusakan terumbu karang, pencemaran air (sungai), tanah
dan udara di berbagai daerah sudah mencapai pada tarap yang amat mengkhawatirkan.
Semuanya itu akibat dari perilaku manusia melalui berbagai kegiatan
yang menempatkan alam sebagai komoditas yang hanya diperlakukan sebagai
objek eksploitasi, media pembuangan, dan kegiatan industri tanpa menghiraukan
bahwa lingkungan itu materi yang mempunyai keterbatasan dan bisa mengalami
kerusakan.
222 Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 2, September 2005: 221 - 237
Pencemaran yang mendapat perhatian begitu luas adalah pencemaran
lingkungan laut yang terdapat di Teluk Buyat, Sulawesi Utara (2004). Pencemaran
lingkungan laut terjadi akibat pembuangan limbah industri tambang
yang terjadi di Teluk Buyat telah menimbulkan penyakit yang ditengarai sebagai
penyakit “minamata”, suatu jenis penyakit yang menakutkan yang pernah terjadi
di Jepang akibat makanan yang dikonsumsi terkontaminasi logam berat berupa
arsen dan merkuri. Sebagai pihak yang dituduh bertanggung jawab adalah
perusahaan penambangan emas PT Newmont Minahasa Raya yang diduga telah
melakukaan pembuangan limbah tambang di Teluk Buyat.
Disusul sekarang musibah menyemburnya lumpur panas PT Lapindo
Brantas, Porong, Sidoarjo yang sudah lebih tiga bulan belum dapat diatasi.
Langkah penanganan yang dilakukan dengan cara membuat tanggul terbukti
tidak aman, karena beberapa kali tanggul jebol menyebabkan banjir lumpur di
sejumlah desa. Jika semburan lumpur terus berlangsung dalam waktu tiga bulan
ke depan diperkirakan 400 hektar lahan di 10 desa akan tergenang. Upaya untuk
mengatasi dengan cara membuang lumpur ke laut akan menimbulkan masalah
baru, yakni akan mengggu biotik laut dan dikhawatirkan akan mencemari
perairan laut dan wilayah pesisir.
Sebagai respon terhadap berbagai petaka lingkungan, masyarakat yang
menjadi korban dan peduli lingkungan berupaya untuk melakukan penuntutan
penegakan hukum lingkungan dilakukan dengan sungguh-sungguh dalam rangka
melindungi lingkungan yang sudah sedemikian parah. Kenginan semacam
ini muncul di berbagai daerah sebagai bagian dari upaya untuk menuntut hakhaknya
atas lingkungan hidup yang sehat dan baik. Karena mereka tahu bahwa
kerusakan lingkungan akibatnya cepat atau lambat akan menimpa manusia
sendiri.
Menurut Ton Dietz upaya yang dilakukan masyarakat pada mulanya murni
lingkungan, yakni mereka yang memperjuangkan masalah lingkungan demi
lingkungan sendiri. Dengan risiko apa pun lingkungan harus dilindungi. Di
samping, itu terdapat kepentingan yang tidak untuk melindungi lingkungan
itu sendiri, tetapi demi kelangsungan pertumbuhan ekonomi dan penumpukan
modal (kapitalisme) supaya terjamin keajegan pasokan bahan baku industri
sehingga pertumbuhan ekonomi akan terus berlangsung. Selanjutnya berkembang
keinginan untuk melakukan advokasi lingkungan untuk melakukan
penegakan dan pembaruan hukum likungan. Advokasi yang dilakukan diprakarsai
oleh aktivis lingkungan yang sangat memihak kepada kepentingan rakyat
Penegakan Hukum Lingkungan pada Era Reformasi -- Absori 223
dan lingkungan untuk kesejahteraan masyarakat.1
INSTRUMEN HUKUM PIDANA LINGKUNGAN
Penegakan hukum lingkungan dalam berbagai kasus pencemaran dan
perusakan lingkungan melalui isntrumen hukum pidana lingkungan dinilai
lemah. Hal ini disebabkan oleh kompleksnya aspek yang muncul dalam proses
penegakan hukum lingkungan. Dalam hal ini persoalan utama tidak disebabkan
oleh faktor bukti semata, tetapi lebih banyak dipengaruhi faktor lain di luar
lingkungan, yakni faktor politik, sosial, dan ekonomi. Penanganan pencemaran
menjadi problem pelik dan perlu upaya penanganan lintas sektoral.
Dalam hukum lingkungan pengajuan tuntutan melalui jalur pidana
dimungkinkan setelah pendekatan penyelesaian melalui hukum administrasi
negara dan hukum perdata ternyata tidak dapat menyelesaikan masalah lingkungan.
Kejahatan lingkungan berupa pencemaran lingkungan dikategorikan
sebagai tindak pidana administratif (administrative penal law) atau tindak pidana
yang mengganggu kesejahteraan masyarakat (public welfare offences). Tindak
pidana tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup sebagaimana
telah diatur dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Mengingat persoalan lingkungan sudah sedemikian mengkhawatirkan,
menurut Hamzah ketentuan sanksi pidana terhadap pencemaran lingkungan
harus dirubah dari ketentuan yang sifatnya ultimum remidium, yang menganggap
bahwa pelanggaran hukum lingkungan belum merupakan persoalan yang serius
menjadi premium remidium2 yang menjadikan sanksi pidana sebagai instrumen
yang diutamakan dalam menangani tindak perbuatan pencemaran atau perusakan
lingkungan. Pilihan jatuh pada hukum pidana jika suatu kerusakan tidak
dapat diperbaiki atau dipulihkan, misalnya penebangan pohon, pembunuhan
terhadap burung atau binatang yang dilindungi. Perbaikan atau pemulihan
kerusakan termasuk tidak dapat dilakukan secara fisik. Demikian juga Loby
Loeqman berpendapat sama dan tampaknya pendapatnya tidak terakomodasi
dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup karena
1 Ton Dietz, 1998, Pengakuan Hak atas Sumber Daya Alam, Pengantar Dr. Mansour Faakih,
Refleksi Gerakan Lingkungan, Remdec, Insist Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998,
hal ix-x.
2 Hamazah, Op. Cit., 1995, hal 82.
224 Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 2, September 2005: 221 - 237
undang-undang tersebut masih menjadikan ketentuan sanksi pidana sebagai
ultimum remidium.3
Namun menurut Muladi untuk saat sekarang ketentuan pidana dijadikan
sebagai instrumen premium remidium masih belum perlu karena sanksi yang
lain, seperti administrasi dan perdata masih bisa didayagunakan. Hal tersebut
sesuai dengan azas pengadilan (principle of restraint), yang merupakan salah
satu syarat kriminalisasi, dimana sanksi pidana hendaknya baru dimanfaatkan
apabila sanksi administrasi dan perdata ternyata tidak tepat dan tidak efektif
untuk menangani tindak pidana lingkungan;4
Lebih lanjut dikatakan bahwa tindak pidana lingkungan dikategorikan
sebagai adminstrative penal law atau public welfare offenses, yang memberi kesan
ringannya perbuatan tersebut. Dalam hal ini fungsi hukum pidana bersifat menunjang
sanksi-sanksi administratif untuk ditaatinya norma-norma hukum administrasi.
Dengan demikian, keberadaan tindak pidana lingkungan sepenuhnya
tergantung pada hukum lain.
Kondisi semacam itu wajar, namun mengingat betapa pentingnya lingkungan
hidup yang sehat dan baik, dan kedudukannya sebagai tindak pidana ekonomi
serta kompleksitas kepentingan yang dilindungi tersebut di atas, baik yang bersifat
antroposentris maupun ekosentris, maka ketentuan khusus (specific crimes) perlu
dilengkapi dengan tindak pidana lingkungan yang bersifat umum dan mandiri
terlepas dari hukum lain yang dinamakan generic crime atau core crime.
Dalam perumusan tindak pidana lingkungan, hendaknya selalu diingat
bahwa kerugian dan kerusakan lingkungan hidup tidak hanya yang bersifat
nyata (actual harm), tetapi juga yang bersifat ancaman kerusakan potensial,
baik terhadap lingkungan hidup maupun kesehatan umum. Hal ini disebabkan
oleh kerusakan tersebut sering kali tidak seketika timbul dan tidak dengan
mudah pula untuk dikuantifikasi. Sehubungan dengan itu untuk generic crime
yang relatif berat, sebaiknya memang dirumuskan sebagai tindak pidana materiil,
dalam hal ini akibatnya merupakan unsur hakiki yang harus dibuktikan. Namun
demikian, untuk tindak pidana yang bersifat khusus (specific crimes) yang
melekat pada hukum administratif dan relatif lebih ringan, maka perumusan
bersifat formil tanpa menunggu pembuktian akibat yang terjadi dapat dilakukan.
Sikap batin yang menjadi elemen tindak pidana tersebut dapat mencakup per-
3 Ibid
4 Muladi, Op. Cit., hal 10.
Penegakan Hukum Lingkungan pada Era Reformasi -- Absori 225
buatan sengaja (dolus knowingly), sengaja dengan kemungkinan (dolus eventualis,
recklesness) dan kealpaan (culpa, negligence).
Dalam merumuskan tindak pidana lingkungan, perlu dipertimbangkan
adanya dua macam elemen, yakni elemenen material (material element) dan
elemen mental (mental element). Elemen material mencakup pertama, adanya
perbuatan atau tindak perbuatan sesuatu (omission) yang menyebabkan terjadinya
tindak pidana; dan kedua, perbuatan atau tidak berbuat yang melanggar
atau bertentangan dengan standar lingkungan yang ada. Elemen mental mencakup
pengertian bahwa berbuat atau tidak berbuat tersebut dilakukan dengan
sengaja, recklessness (dolus eventualis atau culpa gravis) atau kealpaan (negligence).
Pembagian ini biasa dikenal dalam sistem hukum Anglo Saxon, sedang
hukum Indonesia banyak dipengaruhi sistem hukum kontinental, membedakan
kategori-kategori kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa).
KEGAGALAN LEMBAGA PENGADILAN
Dari segi instrumen hukum, sekalipun undang-undang lingkungan, telah
mencantumkan ketentuan ganti rugi yang begitu besar, dan sanksi hukuman
yang begitu berat, namun ketentuan tersebut ternyata dalam praktik belum
menjamin para pencemar lingkungan dapat dijerat dengan hukuman yang
memadai. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa data persidangan sengketa lingkungan
hidup yang di pengadilan. Para pihak yang didakwa melakukan perbuatan
pencemaran lingkungan hidup dapat lolos dari jeretan hukum. Kasus
pencemaran sungai Babon, Demak, pencemaran Sungai Banger Pekalongan
dan pencemaran di Karanganyar,5 warga masyarakat yang menuntut ke
pengadilan hanya memperoleh ganti rugi yang teramat kecil dan hukuman
untuk terdakwa yang ringan.6
5 Lihat kasus persidangan pencemaran yang dilakukan terhadap PT Indorayon Utama di
PN Jakarta Pusat tahun 1989.
6 Bandingkan kasus PT.Sido Makmur di PN Sidoarjo terdakwaa dijatuhi hukuman hanya
3 bulan penjara dan terdakwa diperintahkan tidak perlu menjalankan hukuman tersebut.
Dari persidangan kasus-kasus tersebut dapat dilihat bahwa majelis hakim yang mengadili
sengketa lingkungan dibuat bingung oleh kemampuan penasehat hukum terdakwa dalam
mengajukan bukti limbah sebagai sampel pembuktian yang tidak melewati ambang batas. Hal
ini bisa terjadi disebabkan jaksa penuntut umum dan hakim sama-sama belum memahami
liku-liku perkara yang berkaitan tindakan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup.
Jaksa penuntut umum tidak mampu membantah fakta yang diajukan pihak terdakwa dan
majelis hakim tidak berupaya untuk menguji keadaan yang meragukan secara lebih mendalam.
226 Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 2, September 2005: 221 - 237
Menurut Hamrat Hamid7 dalam kasus persidangan sengketa lingkungan,
mestinya perlu dipertimbangkan, pertama, motif atau alasan terdakwa. Kedua,
kesungguhan terdakwa dalam melakukan pencegahan tercemar atau rusaknya
lingkungan hidup. Ketiga, besar kecilnya bencana atau bahaya terhadap jiwa
atau kesehatan manusia. Keempat, besar-kecilnya perhatian, keperdulian, dan
bantuan perusahaan tersebut pada masyarakat sekitar, terutama masyarakat
ekonomi lemah. Kelima, ada tidaknya peringatan atau teguran dari aparat atau
instansi pemerintah yang berwenang.
Persoalan penegakan hukum lingkungan terkait dengan pemberdayaan
penegakan hukum lingkungan meliputi pengembangan sistem satu atap (one
roof enforcement system) dan pola greening the bench untuk membuat peradilan
yang lebih mumpuni di bidang lingkungan. Dalam hal sistem pemberdayaan
satu atap, PPNS, polisi, dan kejaksaan terpilih berada dalam satu atap Kementerian
Lingkungan Hidup, dan instansi pengelolaan lingkungan hidup di daerah.
PPNS dan polisi terpilih sebagai penyidik khusus bekerja sama dengan jaksa
khusus lingkungan untuk mentargetkan kasus lingkungan tertentu yang layak
dibawa ke pengadilan. Untuk itu diperlukan hakim bersertifikat hukum lingkungan
untuk menangani kasus lingkungan. Di samping itu, bisa saja diangkat
hakim khusus dari kalangan ahli atau pakar lingkungan.8
Dalam masalah lingkungan hidup, pembalasan sebagaimana dikenal
dalam hukum pidana hanya memberikan sedikit penawar kepada masyarakat
yang mengalami kerusakan lingkungan, yaitu dengan dipidananya pelaku pencemaran
atau perusak lingkungan. Sekalipun ada pemidanaan, kerusakan lingkungan
sudah terjadi dan tidak akan pulih, atau apabila amar putusan pengadilan
mengharuskan pelaku untuk memperbaiki kerusakan, maka prosesnya
akan memakan waktu yang lama. Penyelesaian masalah lingkungan dapat
dilakukan dengan pola kerja sama dengan cara membentuk semacam “komunitas
penanggulangan kerusakan”, yang di dalamnya terhimpun unsur pemerintah
dan pengusaha untuk mencoba mencari jalan keluarnya.9
7 Hamrat Hamid, Op. Cit., hal 17.
8 Masukan ICEL dalam menanggapi usulan Formula 12 untuk Penegakan Hukum
Lingkungan yang Disampaikan Menteri Lingkungan Nabiel Makarim yang akan menunjuk
12 hakim khusus dan 12 jaksa khusus yang akan menagani masalah lingkungan.
9 Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonsia, Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, hal. 196.
Penegakan Hukum Lingkungan pada Era Reformasi -- Absori 227
Menurut Emil Salim persoalan lingkungan dalam kerangka pembangunan
berkelanjutan tidak lepas dari mekanisme pasar yang tidak menangkap isyarat
sosial dan lingkungan. Karena itu, perlu mengoreksi kekurangannya untuk
mengimbangi pembangunan sosial dan lingkungan dengan pembangunan
ekonomi. Intervensi dapat dilakukan oleh lembaga segitiga yang sebangun, yakni
Pemerintah, Pengusaha, dan Masyarakat Madani. Antara ketiga kekuatan
terdapat hubungan “check and balance” pada tingkat yang sama sehingga
kepentingan ketiga kekuatan tersebut bisa dipelihara keseimbangnya.10
Agar ketiga kekuatan berfungsi seimbang diperlukan norma, kelakukan
dan pengaturan yang memuat beberapa prinsip pokok, pertama, aturan hukum
yang memungkinkan keterlibatan dan ketermasukan seluas mungkin anggota
masyarakat berperan dalam pembangunan; kedua, aturan hukum yang memungkinkan
pasar berfungsi sebaiknya membimbing masyarakat ketingkat efisiensi
tinggi; ketiga, aturan hukum yang mengembangkan good governance (pemerintah,
bisnis, dan masyarakat) untuk mengoreksi kelemahan pasar; keempat, aturan
hukum untuk mengelola mediasi dan konflik, dan kelima, aturan hukum mengembangkan
transparansi sebagai perangkat ampuh mendorong keterbukaan
untuk mencegah korupsi, kolusi dan nepotisme.11
PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN DAN INTERVENSI
KEPENTINGAN
Menurut Stephen Trudgill, faktor penghambat terakhir dalam dalam mengatasi
masalah lingkungan adalah faktor politik, setelah faktor hambatan sosial,
ekonomi, teknologi, pengetahuan, dan kesepakatan. Faktor kesepakatan berkisar
pada tidaksepemahaman dalam masalah benar-benar ada dan seberapa pentingnya
masalah tersebut bagi para pihak, bahkan ketika kasus tersebut sudah disepakati
sebagai masalah yang harus dipecahkan, konsensus tentang cakupan dan caracara
pencapaian penyelesaian serta tujuaan akhirnya yang harus dicapai.12
Ketika hambatan kesepakatan sudah terlewati, hambatan pengetahuan
memunculkan pertanyaan selanjutnya, apakah tersedia cukup bukti dan
10 Emil Salim, 2003, Agenda Bangsa, Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional
VIII, Badan Pembinaan hukum Nasional Departemen Hukum Nasional, Bali 14-18 Juli, hal.
3-4.
11 Ibid.
12 Stephen Trudgill dalam Budi Widianrko. 2004, Bias Politik dalam Kasus Pencemaran,
Kompas, 31 Juli.
228 Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 2, September 2005: 221 - 237
pengetahuan yang memadai tentang penyebab, proses terjadinya, dan dampak
masalah itu? Setelah hambatan pengetahuan teratasi, pertanyaan muncul
berikutnya apakah kita memiliki sarana untuk memecahkan masalah itu?
Puncak dari semua hambatan adalah hambatah sosial, ekonomi, dan politik
menghadang penyelesaian masalah lingkungan. Ketiga hambatan terakhir ini
saling terkait dan merupakan faktor-faktor penentu dalam menyelesaikan
masalah lingkungan. Dalam banyak kasus sering kali terjadi penekanan yang
berlebihan terhadap faktor sosial, ekonomi, dan politik, sehingga kebenaran
pengetahuan ilmiah terpaksa dikorbankaan. Akibatnya, sudah jelas kepentingan
lingkungan dikalahkan oleh kepentingan sosal, ekonomi, dan politik yang nota
bane hasil kreasi manusia sepenuhnya.13
Dalam hal ini kinerja dan kebijakan pemerintah dalam menangani
masalah lingkungan sangat ditentukan oleh ciri pluralisme dan inkrementalisme.
Pluralisme dimaknai sebagai suatu bentuk pengambilan kebijakan publik yang
diambil melalui tawar menawar, kompromi, dan negosiasi di antara kelompok
kepentingan dalam masyarakat. Sementara dalam rezim inkrementalisme
kebijakan publik diambil hanya berdasarkan beberapa alternatif yang sifatnya
terbatas. Pengaruh politik tidak lepas dari imbal pengorbanan (trade-off), tawarmenwar
dan kompromi antar kekuatan kepentingan. Tidak bisa dipungkiri di
negara manapun termasuk Indonesia, yang didominasi kapitalisme selalu
terdapat bias ideologi yang lebih memihak pada pembangunan ekonomi sebagai
mainstream yang lebih mengutamakan kepentingan investasi dan mengabaikan
kepentingan lingkungan.14
Hal ini amat jelas terlihat dalam penanganan kasus penyelesaian
pencemaran lingkungan Teluk Buyat, Sulawesi Utara. Dalam penanganan kasus
pencemaran Teluk Buyat, Duta Besar Amerika Serikat, Ralp L Boyce meminta
pemerintah Indonesia supaya tidak menahan Direktur PT Newmont Minahasa
Raya, Richard B. Ness ketika mengunjungi Presiden Megawati dan Kapolri.
Da’i Baktiar dengan alasan dapat mengganggu iklim investasi di Indonesia.
Sikap duta besar Amerika Serikat tersebut dinilai sebagai bentuk intervensi
kepentingan politik dan ekonomi terhadap proses hukum yang sedang dijalankan
oleh aparat penegak hukum Indonesia. Tak pelak lagi, sikap Dubes Amerika
Serikat tersebut mendapat reaksi keras dari sejumlah LSM dan Ormas, termasuk
13 Ibid.
14 Ibid.
Penegakan Hukum Lingkungan pada Era Reformasi -- Absori 229
Organisasi Keagamaan Muhammadiyah. Ketua LBH Kesehatan, Iskandar
Sitorus menuding bahwa Amerika Serikat telah mengintervensi proses hukum
yang sedang dijalankan Polri dengan dalih akan mengganggu iklim investasi
baru di Indonesia. Sementara itu ketua Muhammadiyah Syafii Ma’arif pada
waktu itu menyatakan bahwa Polri tidak perlu terpengaruh dengan tekanan
dari Amerika. Polri harus berpegang pada fakta hukum dan proses yang
berdasarkan ketentuan hukum yang ada agar bangsa memiliki martabat. Karena
itu sekalipun Indonesia sangat bergantung pada Amerika Serikat, karena masalah
utang dan investasi, bukan berarti harus merendahkan kedaulatan dan
harga diri sebagai bangsa di mata luar negeri.
Setelah Presiden Megawati diganti dengan Susilo Bambang Yudono,
harapan masyarakat kembali muncul yang ditandai janji-janji yang dilontarkan
pada beberapa kesempatan, termasuk pada waktu kampanye Pemilu. Dalam
kesempatan menyampaikan visi, misi, dan program calon presiden menjelang
pelaksanaan Pemilu Presiden 2004, paket Calon Presiden dan Wapres Susilo
Bambang Yodoyono-Yusuf Kalla, yang sekarang menjadi Presiden-Wakil Presiden
terpilih meyampaikan pandangannya di bidang pembangunan hukum lingkungan,
yakni pertama, menegakan hukum dan menyerasian aturan mengenai
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan; kedua, menciptakan sistem
intensif dan disintensif yang tegas dalam pengeloaan sumber daya alam dan
lingkungan; ketiga, memperbaiki koordinasi lintas departemen dalam pengendalian
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan; keempat, melibatkan
masyarakat lokal dan gerakan masyarakat sipil (civil society) secara sistemik
dalam upaya pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, dan kelima,
menindak secara tegas dan efektif praktik-praktik penyelewengan pengawasan
dan pengendalian pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang dilakukan
oleh aparatur birokasi.
Dari platform yang disampaikan presiden dan wakil presiden terpilih, tampak
bahwa apa yang akan dikerjakan terdapat keinginan untuk menempatkan
persoalan penegakan hukum lingkungan sebagai prioritas utama. Di samping
itu, terdapat keinginan untuk mensinergikan antara persoalan sumber daya alam
dan lingkungan melalui kebijakan pembaruan hukum sumber daya alam dan
lingkungan hidup. Di samping itu, terdapat keinginan kuat untuk memberdayakan
masyarakat lokal dan gerakan masyarakat sipil (civil society) sebagai satu kesatuan
yang sistemik dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Dalam rangka membantu pemerintah Susilo Bambang Yudoyono-Yusuf
Kalla menyusun program l00 hari di bidang lingkungan hidup, Koalisi Ornop
230 Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 2, September 2005: 221 - 237
berusaha menyususun enam agenda kunci untuk mengatasi kerusakan lingkungan,
terutama berkaitan penanganan illegal logging. Agenda kunci tersebut
berisi pertama, menyususun gugus tugas (task force) illegal logging yang proaktif
dengan melaporkan secara langsung kepada presiden. Kedua, membentuk
pengadilan adhoc, dengan jaksa yang memiliki komitmen dan tanggung jawab
tinggi dan hakim terpercaya. Ketiga, menghukum para cukong, perusahaan dan
aparat yang terlibat turut dalam perusakan lingkungan. Keempat, membuat
peraturan yang membolehkan bukti visual sebagai bukti yang dapat digunakan
ke pengadilan adhoc. Kelima, membarui perjanjian bilateral dengan berbagai
negara yang terkait dengan upaya untuk mengatasi illegal logging. Keenam,
mengesahkan peraturan tentang pengalihan hasil uang dari lelang kayu ilegal
untuk aktivitas penegakan hukum lingkungan.
Ketika Susilo Bambang Yudoyono-Yusuf Kalla berkuasa upaya untuk
melakukan penegakan hukum lingkungan dan penanganan berbagai kasus
lingkungan belum menunjukan hasil yang menggemberikan. Pemerintah dinilai
oleh kalangan aktivis lingkungan hanya mengurusi masalah politik dan sibuk
mengeluarkan kebijakan ekonomi tanpa ada keberpihan pada lingkungan.
Akibatnya persoalan lingkungan, seperti kasus pencemaran Buyat, illegal logging,
kebakaran hutan, pencemaran dan perusakan lingkungan di sejumlah
daerah tidak dapat ditangani secara tuntas. Kebijakan pemerintah yang tidak
memihak pada lingkungan berakibat pada terjadinya berbagai peristiwa atau
musibah bencana alam yang terus terjadi secara beruntun di berbagai tempat
di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Gambaran tersebut menunjukan adanya indikasi bahwa bekerjanya
lembaga pengadilan dan penegkan hukum lingkungan di Indoensia masih amat
dipengaruhi kepentingan politik, sebagaimana dikatakan oleh Stanlay Diamond,
15 terpuruknya penegakan hukum di berbagai negara berkembang,
termasuk di Indonesia sangat berkaitan dengan kultur dan kondisi politik suatu
masyarakat. Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa produk hukum
dan penegakannya amat dipengaruhi kepentingan politik.
Roberto M. Unger16 mengatakan bahwa pemahaman hukum tidak bisa
bebas dari konteksnya. Hukum bekerja tidak di ruang hampa tetapi bekerja
15 Stanlay Diamon dalam M. Mihradi, 2002,Menelaah Kebijakan Penegakan HAM, Jurnal
Keadilan, Vol 2 No. 2, hal 21.
16 Roberto M Unger, 1999, The Critical Legal Studies Movement (1983), diterjemahkan
Ifdhal Kasim, Jakarta: Elsam, hal 22.
Penegakan Hukum Lingkungan pada Era Reformasi -- Absori 231
dalam realitas yang tidak netral dari pengaruh lain, dan nilai yang ada di
belakangnya adalah subjektif. Hukum bukanlah sesuatu yang terjadi secara
alamiah, melainkan dikontruksi secara sosial. Karena itu, penggunakan hukum
yang hanya bersifat formal akan gagal untuk mengatasi problem kemasyarakatan.
Dia mencoba mengetengahkan visinya mengenai tatanan masyarakat dan
tatanan hukum masa mendatang melalui gerakan aktivitas transformatif yang
dilakukan atas dasar hak-hak individu yang dilindungi hukum dan menyadarkan
birokrasi kekuasan untuk bekerja dengan penuh tanggung jawab.17
Lembaga pengadilan dalam melakukan penegakan hukum lingkungan
sarat dengan pertimbangan kepentingan politik dan ekonomi. Alasan yang
dijadikan dasar dalam menjatuhkan keputusan bukan semata pertimbangan
ketentuan aturan hukum sebagaimana yang diatur dalam undang-undang
lingkungan tetapi lebih banyak didasarkan alasan agar keputusan yang dijatuhkan
tidak mengganggu iklim investasi dan tidak terjadi penutupan perusahaan
yang berakibat adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi buruh. Kalau
terjadi pemutusan hubungan kerja bisa mengakibatkan instabilitas daerah dan
kerawanan sosial. Alasan pertimbangan tersebut terkesan mengada-ada dan
sengaja dikemukakan oleh perusahaan dan pemerintah dan terbukti dapat
mempengaruhi majelis hakim penjatuhan keputusan hukum bagi pihak yang
bersengketa di pengadilan sehingga menyebabkan keputusannya tidak adil.
Sekalipun demikian, majelis hakim atau lembaga pengadilan yang
menjatuhkan keputusan merasa tidak bersalah, terbukti beberapa kajian
keputusan yang dilakukan perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat
melalui eksaminasi publik yang dikirimkan kepadanya atau disampaikan di
media masa tidak ditanggapi secara serius. Hal ini menandakan bahwa
pengadilan lebih mengedepankan “ego korp dan institusi” dengan berlindung
di balik dogma bahwa pengadilan bersifat independen dan mandiri yang bebas
dari pengaruh manapun, sehingga tidak mungkin keputusannya terpengaruh
oleh kekuatan pihak luar (external).
Kondisi seperti itu membuktikan bahwa lembaga pengadilan selama ini
dipahami dan menempatkan sebagai lembaga yang amat mapan dan berada
dalam budaya otoriter. Aparat penegak hukum lebih menekankan pemahaman
dan penafsiran hukum yang bersifat tunggal dengan prinsip legalitas, khususnya
17 Soetandjo dalam R. M Unger,1987, False Necessity, New York: Cambridge University
Press.
232 Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 2, September 2005: 221 - 237
dalam penegakan hukum yang lebih berorientasi pada formal justice. Karena
itu, dalam banyak kasus penyelesaian sengketa ataupun penegakan hukum di
pengadilan, keputusan-keputusan yang diambil jauh dari rasa keadilan yang
berkembang dalam masyarakat.
PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN DENGAN PENDEKATAN
HUKUM PROGRESIF
Selama ini lembaga pengadilan sebagai lembaga negara penegak keadilan
dalam melakukan penegakan hukum lingkungan dinilai tidak memberi rasa
keadilan masyarakat, dan keadilan lingkungan. Berbagai kasus penyelesaian
sengketa pencemaran lingkungan yang diajukan ke pengadilan keputusannya
amat mengecewakan masyarakat, dan jauh dari rasa keadilan. Lembaga pengadilan
dalam menyelesaikan sengketa lingkungan selama ini masih berorientasi
pada hukum formal. Analasis studi menunjukan bahwa dalam menyelesaikan
sengketa lingkungan hakim masih belum mampu keluar dari pendekatan text
books yang memahami hukum sebatas aturan yang bersifat hitam putih,
diterapkan laksana buku telepon. Hal ini dapat dilihat dari ketidakberanian
hakim untuk keluar dari rumusan ketentuan hukum perdata yang bersandar
pada Pasal 1365 KUHPerdata ataupun Pasal 34 UU No. 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam menangani gugatan masyarakat.
Hakim sama sekali tidak melihat pada petimbangan hukum lain yang
terdapat dalam asas-asas hukum yang hidup di masyarakat atau asas hukum
mempunyai kedudukan lebih tinggi, seperti prinsip pencegahan secara dini,
prinsip kehati-hatian (precautionary), prinsip pembelaan melalui “due diligence”
dan prinsip pertangungjawaban ketat (strict liability) padahal prinsip-prinsip
tersebut amat dibutuhkan untuk menjawab persoalan hukum dalam perkara
yang tidak terakomodasi dalam perundang-undangan. Di samping itu, hakim
juga tidak melihat fakta hukum yang terungkap di persidangan sehingga
keputusan hakim dalam menyelesaikan sengketa lingkungan dianggap tidak
mencerminkan rasa keadilan. Kegagalan lembaga pengadilan dalam menyelesaikan
sengketa lingkungan karena aparat penegak hukum (hakim) dalam
memahami dan menerapkan hukum baru sebatas menggunakan logika peraturan
dan prosedur yang bersifat legal formal.
Dalam artikelnya, “Indonesia Butuh Keadilan Progresif”, Satjipto
Rahardjo mengatakan kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan
melalui hukum modern disebabkan oleh permainan prosedur yang menyebabkan
timbul pertanyaan “apakah pengadilan itu tempat mencari keadilan atau
Penegakan Hukum Lingkungan pada Era Reformasi -- Absori 233
kemenangan?’ Membandingkan apa yang terjadi Amerika Serikat, yang
menggunakan extreme adversary system dalam perkara OJ Simson (1993), karena
adanya keleluasaan besar untuk bermain-main dengan prosedur. Para pembela
Simson tidak berusaha membuktikan ketidaksalahan Simson, melainkan
menyoroti prosedur penanganan kasusnya.18
Secara keseluruhan untuk bangkit dari keterpurukan di bidang hukum,
yakni penegakan dan citra lembaga peradilan yang tidak kunjung membaik
kiranya perlu untuk melakukan perenungan lebih dalam apa makna kehidupan
sosial dalam negara hukum. Untuk menjawabnya tidak cukup hanya
menggunakan logika dan perasaan, tetapi lebih dari itu bisa dipakai kecerdasan
spiritual, karena menjalankan hukum tidak sama dengan menerapkan hurufhuruf
peraturan begitu saja, tetapi harus mencari dan menemukan makna
sebenarnya dari suatu peraturan yang akan dijalankannya. Hukum bukan buku
telpon yang hanya membuat daftar peraturan dan pasal, tetapi sesuatu yang
sarat dengan makna dan nilai.19
Penegakan hukum lingkungan yang dilakukan lembaga formal, seperti
pengadilan dan pemerintah selama ini belum bergesar dari pendekaatan positivis
formal dan prosedural. Aparat penegak hukum dalam merespon dan
menyelesaikan berbagai persoalan lingkungan menunjukan sikap yang formalis,
deterministik, dan memberi peluang terjadinya perilaku eksploitatif di kalangan
pelaku usaha (investor). Instrumen hukum yang dipakai hanya berorientasi
prosedur dan tidak dapat diandalkan sebagai pilar utama untuk mengatasi problem
lingkungan, sementara pencemaran lingkungan dalam proses waktu
semakin sulit untuk dapat dikendalikan.
Karena itu, pendekatan seperti itu kiranya perlu segera diakhiri, diganti
dengan semangat pendekatan hukum progresif yang dimulai dari kesadaran
yang tumbuh dari semua kalangan yang mempunyai kepedulian terhadap lingkungan
untuk memahami bahwa persoalan lingkungan sudah mencapai tarap
yang mengkhawatirkan. Karena itu, perlu ada terapi kejut (shock therapy) yang
segera digulirkan dalam berbagai upaya dan langkah dalam rangka memberikan
dorongan yang lebih kuat lagi. Untuk mengatasinya perlu dilakukan gerakan
penyadaran secara progresif dengan melibatkan pertisipasi masyarakat, aparat
18 Kompas, 17 Oktober 2002.
19 Satjipto Rahardjo, 2002, “Menjalankan Hukum dengan Kecerdasan Spiritual”, Kompas,
30 Desember, hal 4 -5.
234 Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 2, September 2005: 221 - 237
penegak hukum, dan pemerintah akan tugas dan tangung jawabnya dalam
menyelesaikan dan memecahkan masalah-masalah lingkungan.
Dalam konteks ini untuk dapat menjalankan hukum lingkungan di tengah
masyarakat yang penuh dengan kompleksitas, dibutuhkan aparat penegak
hukum, yakni polisi, jaksa, dan hakim yang mempunyai visi, komitmen yang
kuat, dan pengetahuan yang memadai di bidang lingkungan. Karena itu, sudah
saatnya perlu dilakukan rekrutmen dan pembinaan aparat penegak secara
khusus, yang nantinya diharapkan dapat menjalankan tugas khusus dalam
menangani sengketa ataupun pengaduan masyarakat masalah lingkungan, berupa
perusakan atau pencemaran lingkungan. Hakim yang diangkat atau ditunjuk
dapat saja direkrut dari kalangan akademisi atau pakar hukum lingkungan,
praktisi yang mengetahui seluk-beluk masalah lingkungan, ataupun kalangan
aktivis yang selama ini gigih memperjuangkan lingkungan.
Di samping itu, mengingat sifat dan karakter kasus lingkungan yang
berbeda dengan kasus-kasus lainnya, dalam beberapa diskusi focus group
berkembang pemikiran perlunya model pengadilan khusus sebagai model
pengadilan yang diharapkan. Institusi pengadilan ini bisa berdiri sendiri secara
mandiri atau melekat pada pengadilan yang sudah ada yang bertugas secara
khusus menangani, memeriksa, dan memutus sengketa masalah lingkungan.
Hakim khusus yang akan menangani persoalan sengketa lingkungan harus
mempunyai pemahaman, pengetahuan dan keterampilan lebih di bidang
lingkungan. Di samping itu perlu dilakukan pembinaan yang intensif para hakim
khusus akan tugas tanggung jawabnya. Hakim diharapkan akan mampu menjalankan
hukum dengan kompleksitas yang tinggi dengan penekanan yang mengutamakan
pendekatan humanity and ecology. Dengan demikian keinginan untuk
mewujudkan keadilan masyarakat dan keadilan lingkungan dapat terwujud.
Di samping itu, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dapat melakukan
langkah-langkah terobosan dalam upaya untuk melakukan pencegahan ataupun
penanggulangan pencemaran dan perusakan lingkungan. Beberapa di antaranya
KLH dapat melakukan kerjasama dengan kepolisian dan kejaksaan untuk
menyamakan persepsi, pemahaman, dan langkah dalam rangka melakukan penegakan
hukum lingkungan dengan membentuk kerja sama penegakan hukum
lingkungan dengan manajemen satu atap yang ditempatkan di KLH. Di samping
itu, dapat dilakukan dengan cara pembinaan aparat penegak hukum, polisi,
jaksa, dan hakim dengan muatan materi hukum lingkungan. Dalam proses
peradilan yang menangani sengketa lingkungan kepada lembaga pengadilan
Penegakan Hukum Lingkungan pada Era Reformasi -- Absori 235
supaya dalam menggunakan hakim yang salah satunya harus sudah bersertifikat
di bidang lingkungan.
Sebagai langkah konkrit perlu ditawarkan kepada Kementerian
Lingkungan Hidup untuk melakukan kerja sama dengan Mahkamah Agung
untuk melakukan pembinaan hakim dengan materi yang berkaitan hukum
lingkungan. Dari pembinaan yang dilakukan para hakim yang telah menjalani
dalam waktu tertentu akan memperoleh sertifikat hakim berkeahlian hukum
lingkungan. Sebagai tindak lanjut hakim-hakim tersebut akan diprogramkan
untuk menangani sengketa lingkungan di berbagai daerah di Indonesia. Hakim
yang dinilai berhasil dalam menangani sengketa lingkungan akan dipromosikan
pada jabatan yang lebih tinggi dengan harapan akan menjadi daya tarik tersendiri
bagi hakim yang mengikuti program pembinaan tersebut.
PENUTUP
Pembinaan aparat penegak hukum yang akan melakukan penegakan
hukum lingkungan tidak hanya didasarkan peningkatan kemampuan dengan
menggunakan IQ ataupun EQ, tetapi sudah mulai diasah dengan pendekatan
SQ sebagai creative, insightful, rule-making, rule-breaking thingking. Dalam hal ini
hukum progresif yang visioner dan membebaskan sudah barang tentu berpihak
kepada SQ dalam menjalankan hukum20.
Untuk pembinanan para hakim dengan pendekatan kecerdasan spiritual
perlu diarahkan pada pembinaan moral, kejujuran, integritas, kepribadian layak
dipercaya dan mempunyai kebanggaan menjadi hakim sebagai jabatan yang
mulia. Di samping itu tidak kalah pentingnya perlu dilakukan pembinaan spiritual
berdasarkan ajaran agama yang diyakininya, yang menyadarkan bahwa
tugas hakim sarat dengan tugas keadilan yang membahasakan atas nama Allah
untuk memutus perkara dengan berdasarkan keadilan. Dengan kualitas
hakim seperti itu, seorang hakim tidak akan tergoda suap, KKN dan praktik
mafia peradilan, lebih dari itu haim akan dapat melakukan keputusan yang
benar sesuai dengan hati nurani dan nilai-nilai keadilan.
Pembinaan aparat penegak hukum (hakim) dengan pendekatan SQ, di
dalamnya terdapat penyadaran dan pesan spiritual yang dalam bahwa seorang
hakim adalah wakil (wali) Allah di muka bumi (fil ardi), ia menjalankan tugas
atas nama Allah, Tuhan semesta alam untuk menjaga dan menyelamatkan
20 Satjipto Rahardjo, Op Cit, hal 10.
236 Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 2, September 2005: 221 - 237
kerusakan alam lingkungan yang telah dirusak oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab. Dengan demikian, apa yang dilakukan aparat penegak
hukum (hakim) semata dalam rangka menjalankan amanat mulia sebagai hamba
untuk mensejahterakan alam lingkungan, sekaligus di dalamnya terkandung
amanat pengabdian (ibadah) kepada Tuhannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Mujiono, 2001, Agama Ramah Lingkungan, Persfektif Al-Quran, Seri
Disertasi 6, Jakarta: Paramadina.
Absori, 2002, Penegakan Hukum Lingkungan pada Era Perdagangan Bebas,
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta Press.
Agustin, Ary Ginanjar, 2004, Rahasis Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual, ESQ, Emotional Spiritual Quatient, Jakarta: Penerbit Arga.
Dietz, Ton, 1998, Pengakuan Hak atas Sumber Daya Alam, Pengantar Dr. Mansour
Faakih, Refleksi Gerakan Lingkungan, Yogyakarta: Remdec, Insist Press
dan Pustaka Pelajar.
Hadi, Sudharto P., 2002, Dimensi Hukum Pembangunan Berkelanjutan, Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Hamzah, 2005, Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta: Arikha Media Cipta,
Jakarta.
Hardjasoemantri, Koesnadi, 2000, Hukum Tata Lingkungan, Yogyakarta:
Gadjahmada University Press.
Husein, Harun M., 1992, Lingkungan Hidup, Masalah Pengelolaan dan Penegakan
Hukumnya, Jakarta: Bumi Aksara.
Muladi, 1998, Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Pidana Lingkungan dalam Kaitannya
dengan UU No. 23 Tahun 1997, Makalah Seminar Fakultas Hukum
UNDIP, Semarang, tanggal 21 Pebruari.
Rahardjo, Satjipto, 1997, Pembangunan Hukum Nasional dan Perubahan Sosial,
dalam Identitas Hukum Nasional, dalam Artidjo Alkostar (Ed),
Yogyakarta: Fakultas Hukum UII.
Penegakan Hukum Lingkungan pada Era Reformasi -- Absori 237
Sugianto, Indro, 2003, “Mensinergikan Kekuatan Masyarakat Sipil dalam
Penegakan Hukum Lingkungan”, Makalah Diskusi Panel, Kerja sama
Program Magister Ilmu Lingkungan Undip dengan Kementerian
Lingkungan Hidup, Semarang, 11 Nopember.
Sale, Kirkpatrick, 1996, Revolusi Hijau, Sebuah Tinjauan Historis-Kritis Gerakan
Lingkungan Hidup di Amerika Serikat, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Santoso, Mas Akhmad,2001, Good Governance dan Hukum Lingkungan, Jakarta:
ICEL.
Usman, Rachmadi, 2003, Pembaharuan Hukum Lingkungan Nasional, Bandung:
Citra Aditya Bakti.

Categories:

0 komentar:

Posting Komentar