• Catatan Harian

    Ini merupakan catatan harianku dalam menjalankan aktivitas sebagai aparatur pemerintah, catatan ini saya maksudkan sebagai referensi pribadi atau bisa menjadi sharing bagi yang ingin berbagi pengalaman dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan [...]

  • Kecamatan Kota Utara

    Sejak tahun 2005 berdasarkan Peraturan Daerah nomor 3 tahun 2005, Kecamatan Kota Utara yang sebelumnya terdiri dari 14 Kelurahan dimekarkan menjadi 2 Kecamatan dengan wilayah pemekarannya adalah Kecamatan Kota Tengah sehingga Kecamatan Kota Utara Kota Gorontalo tinggal memiliki 9 Kelurahan. [...]

  • Belajar Trompet

    Belajar Trompet- Keberadaan Korps Musik untuk upacara baik dilingkungan pemerintah maupun militer pada saat biasa seringkali dilupakan. Namun pada saat akan dilaksanakan suatu upacara besar, panitia pelaksana sibuk mencari informasi tentang keberadaan korsik ini makanya saya hanya mengingatkan anda untuk [...]

  • Lipuu Hulontalo

    Tauwa merupakan gelar kehormatan tertinggi kepada seorang pemimpin di Gorontalo. Tauwa diartikan sebagai khalifah teladan, pedoman, acuan, pembimbing atau pemimpin. Dalam struktur adat Gorontalo, Walikota atau Bupati adalah olongiya (raja) yang secara sah menduduki jabatan tertinggi dipemerintahan daerah. [...]

  • Cinta Rasul

    Semasa umat manusia dalam kegelapan dan suasana jahiliyyah, lahirlah seorang bayi pada 12 Rabiul Awal tahun Gajah di Makkah. Bayi yang dilahirkan bakal membawa perubahan besar bagi sejarah peradaban manusia. Bapa bayi tersebut bernama Abdullah bin Abdul Mutallib yang telah wafat sebelum baginda dilahirkan [...]

Sabtu, 15 Januari 2011

Hukum Lingkungan

Iss Moerad 18.02

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pengelolaan serta pelestarian lingkungan hidup tidak hanya butuh kuantitas yang besar melainkan konsistesi yang sustainable. Hal ini di karenakan lingkungan tidak hanya di manfaatkan saat ini saja,melainkan akan menjadi tempat hunian masyarakat luas selamanya.Maka peran pemerintah mutlak sangatlah besar.Sebagai pelindung masyarakat,sudah semestinya pemerintah memiliki konsep paradigma berpikir yang peduli lingkungan.Tidak hanya itu,regulasi yang tepat akan menjadi penyelamat korelasi antara manusia dengan lingkungan yang manfaatnya akan kembali juga pada masyarakat itu sendiri.
Dalam mainstream pemikiran yang berkembang, lingkungan hidup diperlakukan sekedar sebagai obyek manajemen. Sementara itu kita tahu bahwa misi dari manajemen adalah pemuasan kepentingan para subyeknya yaitu manusia. Lingkungan tidak memiliki makna atau nilai (value) lebih dari sekedar alat pemuas umat manusia.
Dalam kepungan utilitarianism ini menejemen lingkungan hidup terjebak dalam suatu paradoks. Di satu sisi manajemen lingkungan hidup berusaha menekan kerusakan lingkungan hidup, di sisi lain keserakahan ummat tetap diumbar. Lebih dari itu, fokus perhatian kita pada dimensi managerial dalam pengelolaan lingkungan hidup telah menjadikan kita lalai terhadap kenyataan bahwa kemapaanan sistem manajemen sebetulnya juga menyimpan kemampuan umat manusia untuk menghasilkan kerusakan sistemik.
Pandangan yang selama ini telah difahami adalah bahwa, supaya manusia bisa mendapatkan manfaat yang optimal, maka lingkungan hidup harus dikelola. Dalam hal ini, manusia memperlakukan dirinya sebagai subyek dan lingkungan hidup sebagai obyek manajemen. Tersirat di sini, lingkungan hidup yang diatur dan di tata sedemikian rupa sehingga manusia tidak sengsara, umat manusia bisa sejahtera. Pertanyaan yang perlu kita renungkan sekarang: bisakah lingkungan hidup terus-menerus di eksplorasi sistem kerjanya agar upaya untuk meningkatkan kesejahteraannya tidak terganggu ?. Semakin terorganisir suatu tatanan sosial, semakin sistemik masyarakat tersebut mengubah alam dan efek yang ditimbulkan juga semakin kompleks.
Paradigma yang mengacu pada konsep sustainable merupakan suatu proses perubahan yang terencana yang didalamya terdapat keselarasan serta peningkatan potensi masa kini dan masa depan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia. Hal ini berarti bahwa konsep sustainable dapat menjamin adanya pemerataan dan keadilan sosial yang ditandai dengan lebih meratanya akses peran dan kesempatan. Sustainable lingkungan menekankan pada adanya keterbatasan lingkungan sehingga penting untuk dilindungi dan dilestarikan untuk keberlanjutan hidup generasi yang akan datang, sehingga penting untuk menciptakan suatu sisten kinerja pengelolaan lingkungan yang memiliki koridor sustainable. Paradigma sustainable lingkungan juga mengacu pada konsep keadilan yang dimaknai dengan adanya keterwakilan dan pendistribusiannya, terkait dengan bagaimana kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup dapat menjadi suatu regulasi yang benar-benar mewakili aspirasi dari masyarakat luas. Melalui konsep regulasi yang jelas serta kepedulian lingkungan yang tinggi, diharapkan nantinya tercipta peningkatan kualitas kehidupan dan kesejahteraan generasi masa kini tanpa mengabaikan kesempatan generasi masa depan memenuhi kebutuhannya
Paradigma umum berikutnya adalah yang mengacu pada konsep partisipatif. Konsep ini menekankan pada pentingnya pelibatan dari berbagai pihak terkait terutama masyarakat, dimana didasari dengan adanya kesetaraan dan kebersamaan dalam pengelolaan lingkungan. Diharapkan dengan adanya partisipasi dari berbagai pihak, lingkungan dapat dikelola dengan efektif dan efisien. Mengacu pada kedua paradigma ini, maka perlu ada regulasi hukum yang jelas terkait kepada pengelolaan lingkungan hidup terutama dalam hal pelaksanaannya.
Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Sumber daya alam seperti air, udara, tanah, hutan dan lainnya merupakan sumberdaya yang penting bagi kelangsungan hidup mahkluk hidup termasuk manusia. Bahkan, SDA ini tidak hanya mencukupi kebutuhan hidup manusia, tetapi juga dapat memberikan kontribusi besar terhadap kesejahteraan yang lebih luas. Namun, semua itu bergantung pada bagaimana pengelolaan SDA tersebut, karena pengelolaan yang buruk berdampak pada kerugian yang akan ditimbulkan dari keberadaan SDA, misalnya dalam bentuk banjir, pencemaran air, dan sebagainya.

B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup dalam dinamika hukum nasional?
Sebagai produk regulasi untuk melindungi lingkungan hidup ,apakah undang-undang nomor 23 tahun 1997 telah cukup berparadigma pengelolaan lingkungan yang sustainable?
Bagaimana peran pemerintah daerah dalam mewujudkan pengelolaan lingkungan serta sumber daya alam yang berbasis pada pelestarian lingkungan hidup itu sendiri?
Bagaimana partisipasi masyarakat dalam penbgelolaan lingkungan hidup yang sustainable?


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi Konflik
Banyak definisi yang berkaitan dengan konflik. Konflik bisa diartikan sebagai gangguan emosi yang merupakan akibat benturan pandangan yang saling bertentangan atau ketidakmampuan menangani pandangan-pandangan dengan pertimbangan realistis maupun moral. Konflik dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a.       Berdasar Posisi para pelaku : Konflik Horisontal & Konflik Vertikal
b.      Berdasar bentuk/dampak yang muncul dari konflik : Konflik Tertutup & Konflik Terbuka, mengarah pada kekerasan/kerusakan
c.       Klasifikasi berdasarkan lamanya konflik : Konflik Sesaat (spontan) & Konflik Berkepanjangan (underlying)
d.      Klasifikasi berdasarkan rencana target : Konflik Sistematis & Konflik Non-Sistematis
e.       Berdasar level konflik : Intrapersonal, interpersonal, intragroup, intergroup, kombinasi, dll; melihat dimana level konflik terjadi (top manajemen, middle atau low manajemen)
f.        Berdasar sumber/akar konflik : perbedaan kepribadian, nilai/budaya, data/informasi,, struktural, konflik kepentingan/kekuasaan, dll
g.       Berdasar bidang konflik : etnis, politik, ekonomi/perebutan SDA, konflik sosial,dll
h.       Berdasar tahapan kegiatan : perencanaan, pengorganisasian, implementasi, pengawasan dan evaluasi
i.         berdasar bentuk potensi penyelesaian konflik : melalui hukum adat, penyelesaian
Dalam hal ini, setidaknya keberadaan sumber daya alam memiliki berbagai fungsi, yaitu ;
1.      Fungsi ekonomi dan sosial/budaya; dan kedua, ekologis/sistem penyangga kehidupan
2.      Berfungsi ekonomi maksudnya sumber daya alam menyediakan beragam materi dan energi yang dibutuhkan untuk menunjang kelangsungan proses produksi.
Sedangkan fungsi sosial/budaya berkaitan dengan keberadaannya sebagai media sebagian masyarakat dalam berinteraksi antar kelompok sosial maupun dengan sistem kepercayaan dengan tuhannya atau mempunyai fungsi psychophysiologic (sebagai insprasi sumber kepercayaan dan aktifitas religius), educational and scientific services (penelitian dan pendidikan lingkungan) serta source of land and living space (sumber lahan dan tempat tinggal suku-suku tertentu). Fungsi ekologis, berkaitan dengan berbagai komponen lingkungan yang membentuk ekosistem dan keseimbangannya diperlukan dalam menjaminkan berbagai aktivitas kehidupan makhluk hidup.


BAB III
PEMBAHASAN
Pada dasarnya, selama ini pengelolaan lingkungan itu difahami sebagai tugas negara. Artinya, negaralah yang bertanggung jawab mengelola perilaku kolektif ummat manusia melalui kebijakan-kebijakan yang diambilnya. Tidaklah mengherankan kalau kita kemudian terbiasa menggantungkan diri pada penggunaan otoritas negara dalam meregulasi pengelolaan lingkungan hidup. Sialnya, justru bekerjanya mesin birokrasi pemerintahan justru menjadikan lembaga yang satu dengan mudahnya melempar tanggung jawabnya ke pada lembaga lain. Bekerjanya birokrasi pemerintahan, yang diharapkan akan memastikan terkelolanya persoalan-persoalan lingkungan hidup, justru menciptakan masalah lingkungan itu sendiri.Maunya tampil sebagai problem solver, tak tahunya justru menjadi trouble maker.
Dalam kajian manajemen lingkungan sebetulnya telah lama dikenal adanya batas daya dukung alam (carrying capacity). Para pengkaji manajemen lingkungan meyakini bahwa batas daya dukung alam ini bisa dinaikkan melalui manjemen yang baik. Teori-teori manajemen, dalam konteks ini, berambisi untuk selalu menawar daya dukung alam, sehingga kesejahteraan bisa terjamin. Pertanyaan yangtersisa, seberapa jauh daya dukung alam ini bisa di-melar-kan Ingat, daya ubah manusia modern semakin hari semakin dahsyat, dan ekspektasi mereka juga terus meningkat. Belum lagi kalau diingat, semakin modern cara hidup seseorang, semakin dia boros atau rakus dukungan sumberdaya utuk mencukupi kebutuhannya. Point yang ingin dikedepankan di sini adalah bahwa pendekatan yang saat ini populer, yakni manajemen lingkungan hidup, memiliki keterbatasan serius manakala pendekatan ini mendudukan lingkungan sebagai obyek dan manusia sebagai subyek. Lebih jauh lagi, manusia dibayangkan sebagai fihak yang menentukan perubahan dan lingkungan ada fihak yang harus disesuaikan melalui berbagai disain, strategi atau teknik manajemen. Oleh karena itu, ada keperluan untuk menjajagi berbagai kerangka konseptual alternatif.
Para environmentalis radikal berkeinginan untuk membalik logika yang managerialistik tersebut di atas. Manusia ingin memperlakukan manusia obyek yang diharuskan untuk tunduk dan patuh pada hukum alam. Alam diyakini telah memiliki hukumnya sendiri, dan kerusakan lingkungan pada dasarnya adalah konsekuensi dari pelanggaran hukum alam. Menurut kaum environmentalis radikal ini diyakini bahwa, betapapun hebatnya kemampuan manusia untuk mengembangkan budaya dan kreativitasnya, mereka tidak akan memiliki kemampuan yang sempurna untuk mengendalikan alam. Kenyataan bahwa alam telah memiliki hukumnya sendiri, harus diikuti dengan penyesuaian tata kehidupan manusia agar tidak bertabrakan dengan hukum alam tersebut. Artinya, alam diperankan sebagai subyek dan manusia harus memposisikan diri sebagai obyek pengelolaan ekuilibrium alam. Cara memandang persoalan yang demikian ini disebut sebagai cara pandang yang eco-centric (ekosentrik).
Cara pandang yang ekosentrik ini jelas bertolak belakang dengan cara pandang yang umum, yang mereka sebut sebagai cara pandang yang anthropo-centric (yang pada dasarnya mengandaikan manusia sebagai pusat perhatian) atau techno-centric (yang mengandaikan kemampuan teknik ummat manusia sebagai pilar tertib sosial). Kontradiksi atau perdebatan di antara dua kutub pemikiran tersebut di atas telah berlangsung lama, dan pandangan yang ditawarkan kalangan environmentalis radikal yang bercorak eco-centric (ekosentrik) tetap tidak populer. Tuntutan untuk membalik kerangka seacara radikal ini tidak dengan mudah bisa dipenuhi oleh khalayak.
Cara fikir yang ekosentris menjanjikan bukan hanya keberpihakan terhadap lingkungan, namun juga komitmen untuk tidak melanggar hukum-hukum alam (hukum-hukum yang dijelaskan dalam kajian ekologi). Kalau kerangka fikir ekosentrik ini ingin diadopsi, maka rasionalitas manusia yang perlu diformat ulang. Selama ini rasionalitas yang berkembang adalah rasionalitas antroposentrik, yang mengejar optimalnya peprolehan atau minimalnya resiko demi manusia. Cara fikir ekosentrik mengajak untuk berfikir secara lebih seksama. Alam telah memiliki hukumnya sendiri, dan pelanggaran terhadap hukum alam pada gilirannya justru mengancam manusia itu sendiri. Terlepas dari apapun kepentingan manusia, hukum alam tetap akan berjalan. Oleh karena itu, adalah rasional justru kalau ummat manusia mengikuti hukum-hukum alam.kalkukasi rasional-irrasional dalam cara pandang ekosentrik ini tidaklah dari kaca mata individual, melainkan dari kacamata kolektif. Unit yang dianalisis tidak hanya manusia dengan segala kepentingannya, melainkan ekosistem dunia dengan manusia sebagai salah satu komponennya. Singkat kata, kala cara pandang teknosentrik hanya peduli dengan kepentingan manusia maka cara pandang teknosentrik justru mengharuskan ummat manusia mengekang kapasitas teknosentrik yang ada supaya “kedaulatan” hukum-hukum ekologi tidak terganggu.
Perlu diingat, kegagalan birokrasi pemerintah dalam menyelenggarakan skema-skema manajemen lingkungan adalah karena tidak adanya komitmen terhadap nilai-nilai ekologis. Birokrasi pemerintahan tidak bisa diandalkan untuk diperankan sebagai instrumen pengelolaan lingkungan hidup karena sistem nilai yang ada di dalam birokrasi pemerintahan tersebut tidak sensitif terhadap premis-premis ekologis. Berfungsinya ekosistem tidak pernah mengenal yurisdiksi spasial para pejabat negara, dan mereka tetap saja bersiteguh dengan pemilahan fungsi secara spasial. Ekosistem tidak mengenal batas-batas kewenangan sektoral, namun birokrasi pemerintahann sejauh ini masing harus berkutat dengaan persoalan ego-sektoral.
Persoalannya, bagaimana perubahan tata nilai bisa dilangsungkan ke arah yang digariskan oleh faham ekosentrik ? Sebelum menjawab pertanyaan ini, perlu dikemukakan bahwa selama pemerintah sebetulnya telah mencoba untuk mendorong perubahann tata nilai. Digulirkannya wacana ‘pembangunan berwawasan lingkungan’, sebetulnya menyembunyikan tata nilai baru, mendorong muncul dan berkembangnya etika baru. Lingkungan hidup perlu dikelola dengan sentuhan etika baru: etika lingkungan. Hanya saja, selama ini negara mengalami kesulitan untuk mereproduksi nilai-nilai, mereproduksi etika lingkungan. Sebaliknya, gerakan lingkungan yang sebetulnya sangat potensial dalam menumbuhkembangkan etika baru, sudahnya basis sumberdayanya lemah, energinya terserap untuk melakukan perlawanan terhadap fihak-fihak yang dianggap sebagai perusak lingkungan.
Dalam memikirkan proses perubahan nilai-nilai yang kondusif bagi kelestarian lingkungan hidup, pendekatan manajerial justru bisa dipakai. Hanya saja, yang dikelola bukan lingkungan hidup melainkan interaksi sosial yang mengkondisikan kerusakan-kerusakan lingkungan hidup itu sendiri. Kalau selama ini kajian manajemen lingkungan hidup telah mencurahkan perhatiannya kepada lingkungan sebagai entitas bio-fisik, di masa-masa mendatang kita memerlukan kepiawaian dalam mengelola interaksi-interaksi sosial yang secara sistemik memiliki kapasitas merusak ekosistem dan habitat kehidupan ummat manusia.
Sebagai suatu organisasi yang memiliki kontrol terhadap sumberdaya dan kekuatan paksa, negara memiliki kemampuan mengubah kondisi alam dalam skala yang massif. Oleh karena itu, nasib lingkungan hidup sangat ditentukan oleh kemampuan menertibkan perilaku negara agar konsisten dengan kaidah-kaidah ekologis. Adanya keperluan untuk menjadikan negara sebagai sasaran penertiban inilah yang menginspirasi penulis untuk mengusulkan penggunaan konsep governance sebagai framework alternatif. Environmental governance dalam makalah ini difahami sebagai frameework pengelolaan negara melalui interaksinya dengan rakyatnya, dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup.
prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup dalam dinamika hukum nasional
Undang-undang nomor 23 tahun 1997 adalah salah satu produk hokum sebagai bukti eksistensi hokum penglolaam lingkungan hidup dalam dinamika hokum nasional.tentu saja tidak berhenti sampai disini.pemerintah perlu lebih konsisten dalam menerapkan regulasi yang efektif.
Hukum pengelolaan lingkungan bukan hanya sebagai formalitas nasional dalam meratifikasi konfrensi lingkungan hidup baik Stockholm,rio de jeneiro maupun johanesberg.tetapi lebih pada kesadaran masayarakat Indonesia bahwa kesadaran akan pengelolaan lingkungan secara arif dan sustainable mutlak di perlukan.karena sebagai bangsa yang berperadaban tinggi
Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat sesungguhnya telah dijamin dalam UUD 1945 pasal 28 H. Sedangkan hak atas informasi dan mengeluarkan pendapat sebagai bentuk berpartisipasi secara tegas diatur dalam pasal 28F dan 28C ayat (3). Hak atas keadilan juga telah dijamin dalam pasal 28C ayat (2).
UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup juga telah menjamin hak masyarakat untuk mendapatkan informasi, berpartisipasi dan mendapatkan keadilan. UU ini mengaitkan hak atas informasi dalam pasal 5 ayat (2) dengan hak setiap orang atas lingkungan yang baik dan sehat dalam pasal 5 ayat (1) dan hak setiap orang untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dalam pasal 6 ayat
Akses masyarakat dalam penegakan hukum lingkungan keperdataan yaitu pertama di luar pengadilan meliputi sukarela, non pidana, tidak terbatas pada ganti kerugian, jasa pihak ketiga dan lembaga penyedia, kedua di dalam pengadilan meliputi class action, legal standing NGO, gugatan perdata biasa, strict liability dan hak gugat instansi pemerintah.
Dalam penegakan hukum lingkungan yang efektif tersebut menurut Rino memiliki kendala seperti perbedaan persepsi dan rendahnya koordinasi di antara aparat penegak hukum terkait, lemahnya pengetahuan teknis dan integritas aparat penegak hukum (judicial corruption), keterbatasan kapasitas budget dan ketiadaan akses informasi dan partisipasi yang menyebabkan kontrol eksternal menjadi tidak efektif.penegakan hukum lingkungan saat ini berada pada posisi stagnasi yang berkelamaan, buruknya implementasi dari aturan yang diterbitkan, serta hanya sekedar mengutamakan instrument command and control.
Penegakan hukum lingkungan hanya sebagai tools yang bertujuan akhir sebuah compliance. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa regulasi yang ada hanya kaya akan jumlah namun miskin dengan penataan. Lebih lanjut menurut Prabowo, dalam penegakan hukum lingkungan perlu adanya rekonstruksi kembali terhadap perumusan regulasi yang applicable, perlu adanya kesinambungan antara upaya preventif, pre emptive dan represif. Juga perlu adanya pemahaman scientific evidence oleh aparat penegak hukum. Sementara itu Ilyas Assaad, Deputi Penegakan Hukum Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH) menyatakan bahwa dalam penegakan hukum lingkungan hidup, KNLH mengarah pada pro investasi, yaitu tidak akan membiarkan pelaku-pelaku pencemar dan perusak lingkungan hidup sehingga akan menghambat investasi selanjutnya. Namun dia mengakui bahwa seharusnya lebih banyak kasus yang bisa diselesaikan. Selama 2008 ada 68 kasus yang ditangani dengan putusan 4 kasus.
Point yang ingin dikedepankan adalah bahwa skenario untuk “memperalat” negara untuk memberlakukan prinsip-prinsip manajemen lingkungan ternyata tidak berjalan mulus. Keterlibatan negara, bahkan otorisasi negara untuk menggunakan tindak kekerasan dan paksaan, ternyata tidak menjamin berlakunya sistem manajemen lingkungan yang diberlakukan. Persoalan polusi industri sudah sejak lama merebak, dan naga-naganya tidak akan membaik dalam waktu dekat. Skema managemen kehutanan seakan tidak pernah ada, karena luasan dan kualitas hutan di negeri ini terus saja menurun. Analisis mengenai dampak lingkungan yang diwajibkan kepada para pengusaha seakan tidak pernah ada karena dampak lingkungan yang mereka ciptakan tetap saja tidak terkendali. Mereka punya seribu satu alasan untuk menghindar dari kewajiban untuk meminimalisir dampak lingkungan negatif dari kegiatan usahanya. Kalau kecenderungan kerusakan lingkungan hidup ini terus berlangsung, maka krisis lingkungan akan menjadi suatu keniscayaan.
Sungguhpun potensi krisis dan krisis lingkungan dalam skala kecil sudah banyak dipublikasikan, kesadaran tentang lingkungan hidup masih belum jelas terlihat. Berbagai kerangka pengelolaan lingkungan hidup telah dirumuskan dan diberlakukan, namun efek positif yang dihasilkan tetap saja tidak sebanding dengan lingkup dan derap kerusakan yang berlangsung. Ada sesuatu yang secara mendasar bermasalah dalam cara hidup kita, dalam proses budaya kita. Kalau kita renungkan baik-baik, dengan mudah bisa kita fahami bahwa kita sebetulnya meniti kemajuan dengan sambil tetap saja membiarkan kerusakan lingkungan terus berlangsung, dengan mengembangkan potensi terjadinya krisis.
Pertanyaannya, mengapa berbagai kerusakan lingkungan tersebut terus saja terjadi. Apakah negara tidak melakukan pengelolaan lingkungan dengan baik melalui rutinitas prosedur, perencanaan, kebijakan dan regulasinya ? Apakah berlebihan ketika para pemikir kebijakan mengharapkan negara melakukan manajemen lingkungan dalam keseharian penyelenggaraan pemerintahan ? Ada cukup banyak alasan untuk menjawab ‘ya !”. Kalau demikian halnya, mengapa hal itu terjadi ?
Pertama, pendekatan managerial cenderung menghindar atau terkelupas dari persoalan-persoalan politik. Para penganjur pendekatan manajerial berpretensi bahwa persoalan lingkungan bukanlah persoalan politik, melainkan sekedar sebagai persoalan teknis. Yang dilupakan dalam hal ini adalah bahwa para pejabat negara sebetulnya berpolitik dibalik berbagai teknikalitas manajemen lingkungan yang telah dirancang. Sebagai contoh, untuk memastikan bahwa eksploitasi hutan dilakukan secara terencana, maka setiap kegiatan penebangan hutan harus mendapatkan persetujuan pejabat negara (melalui pemberian ijin). Para pejabat justru mencari keuntungan pribadi melalui pemberlakuan perijinan. Kalau yang mencari untuk pribadi hanya satu orang, munkin sistem perijinan tersebut tidak terlalu bermasalah. Namun kalau praktek mencari keuntungan sambil berpura-pura menyelenggarakann sistem perijinan ini dilakukan oleh orang banyak dan terjadi secara terus menerus, maka perijinan tadi kehilangan fungsi managerialnya. Artinya keinginan untuk melakukan kontrol terhadap kualitas lingkungan melalui sistem perijinan harus kandas terbentur oleh politisasi (atau tepatnya komersialisasi) prosedur perijinan. Manakala perijinan dalam rangka kontrol kualitas lingkungan difahami sebagai cara yang “wajar” dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintahan, maka kewajaran manajemen lingkungan sebetulnya telah sirna.
Kedua, manajemen lingkungan sebetulnya melekat dalam manajemen pembangunan dan manajemen kepentingan publik. Perencanaan lingkungan idealnya inheren dalam perencanaan alokasi ruangan, alokasi sumberdaya alam, strategi pengembangan investasi dan sebagainya. Sewaktu menjabat Menteri Lingkungan Hidup, Prof. Emil Salim sadar betul tentang hal itu, dan dalam rangka mengintegrasikan manajemen lingkungan ke dalam manajemen pembangunan beliau sangat gencar mewacanakan konsep pembangunan berwawasan lingkungan. Artinya, proses pembangunan tetap jalan terus namun di dalam setiap unit dan sektor pelaksanaan pembangunan, perlu diadopsi wawasan ekologis yang memadai. Dengan cara itu beliau berharap negara menginternalisasi pengelolaan pengelolaan lingkungan di dalam pengelolaan pembangunan. Sayangnya, pengembangan wawasan ini tidak cukup berhasil. Skema kerja manajemen lingkungan seperti AMDAL jarang dihayati sebagai keperluan. AMDAL sejauh ini tetap saja dihayati sebagai kewajiban yang harus dipatuhi, bukan instrumen yang harus dikelola baik-baik.
Ketiga, penjelasan-penjelasan tersebut di atas mengisyaratkan adanya kepercayaan diri yang berlebihan (over-confidence) bahwa negara bisa diserahi tanggung jawab penuh untuk menyelenggarakan berbagai skema manajemen lingkungan. Managemen lingkungan yang dipercayakan kepada negara ini tidak diimbangi dengan pesatnya environmentalisme, baik di kalangan pejabat pemerintah maupun masyarakat. Implikasinya, majamenen lingkungan dilakukan tanpa penghayatan yang memadai tentang apa yang dilakukannya. Lebih dari itu, banyak orang yang justru berharap terlalu banyak terhadap berbagai skema manajemen lingkungan. Pemberlakuan skema AMDAL adalah illustrasi yang bagus. Pada dasarnya AMDAL adalah suatu perangkat manajerial untuk memastikan pengambil keputusan kebijakan publik. Melalui suatu kajian yang ditulis dalam dokumen AMDAL seorang pejabat publik bisa mengetahui potensi dampak yang akan terjadi ketika suatu investasi pembangunan akan dijalankan. Kalau dari kajian AMDAL ini terdeteksi adanya potensi kerusakan lingkungan yang besar, dan potensi kerusakan ini sulit dikelola maka sang pejabat harus tidak memberikan ijin. Dalam prakteknya selama pemberlakukan kewajiban untuk melakukan studi AMDAL di Indonesia, hampir-hampir tidak ada penolakan meskipun ada cukup banyak kegiatan yang mempertaruhkan lingkungan hidup secara besar-besaran. Celakanya, di kalangan masyarakat beredar harapan yang berlebihan bahwa AMDAL akan mengatasi masalah-masalah lingkungan. Padahal, AMDAL pada dasarnya hanyalah janji calon investor bahwa dirinya akan melalukan pengelolaan lingkungan sesuai dengan kalkulasi dampak. Di sini ada dua hal yang perlu dicermati. Pertama, tepat tidak antisipasi dampak yang akan diatasi. Kedua, keseriusan dan kemampuan menanggulangi dampak. Kalaupun kajian AMDAL sudah dilakukan dengan baik dan disajikan dalam dokumen AMDAL, tidak ada jaminan bahwa dampak lingkungan bisa terkendali pada level minimal. Skema AMDAL tidak ada gunanya sama sekali kalau kajian tidak dilakukan secara serius. Dalam kasus AMDAL ini masyarakat sebetulnya manaruuh harapan yang berlebihan karena beberapa alasan:
• Banyak studi AMDAL yang tidak cukup seksama
• Para pejabat yang seharusnya mengambil rujukan pada dokumen AMDAL dalam pembuatan keputusan perijinan ternyata tidak terlampau mempedulikan dampak lingkungan dari keputusannya
• Negara tidak menyediakan sumberdaya (uang, informasi dan personel) yang memadai untuk memastikan para pengusaha menunaikan janji-janji pengelolaan lingkungan yang telah dituangkan dalam dokumen AMDAL.
Mengingat adanya kecenderungan umum yang dipaparkan di atas tersirat bahwa manajemen lingkungan dikembangkan dengan penghayatan yang sangat tipis, dan sebagai konsekuensinya, tidaklah mengherankan kalau kerusakan lingkungan hampir-hampir tidak terkendali. Ancaman terjadinya krisis lingkungan kini harus diterima.
Perlu di catat, krisis lingkungan tidak akan pernah bisa dibatasi lingkupannya sekedar sebagai krisis lingkungan semata. Krisis lingkungan akan memicu krisis sosial. Dalam berbagai manifestasi dan skala, kita telah lama mengetahui bahwa kerusakan lingkungan akan berbuntut kerusakan tatanan sosial. Menggejalanya kerusakan lingkungan senantiasa menyeret konflik lingkungan hidup kini semakin merajalela. Sebaliknya, konflik sosial yang terjadi tidak jarang justru memicu penggunaan sumberdaya alam dan pada gilirannya menghasilkan konflik sosial yang baru, atau konflik yang berskala lebih luas. Bagi para fihak yang berperang, kemenangan adalah difahami sebagai hal yang paling esensial. Tapi, siapapun yang menang, masing-masing harus menanggung kerugian ekologis: merelakan kerusakan lingkungan.
Singkat kata, kerusakan lingkungan hidup ini pada gilirannya justru menghantarkan munculnya masalah-masalah sosial baru. Permasalahan tentang semakin parahnya pecemaran dengan mudah merembet menjadi masalah terancamnya kesehatan masyarakat. Kelangkaan sumberdaya alam akibat dari eksploitasi yang berlebihan pada gilirannya mengundang berkecamuknya konflik-konflik sosial. Singkat kata, manakala masalah lingkungan menyeruak dan bermuara pada jalan buntu, masing-masing fihak yang terlibat saling menyalahkan, saling menunjukkan benarnya sendiri. Kalau begini jadinya, yang namanya ‘masalah’ tetap saja ‘masalah’.
Ketika lingkungan tercemar oleh industri, masyarakat menyalahkan perusahaan yang memiliki kegiatan industri. Perusahaan mengelak untuk bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi karena sudah mendapat berbagai ijin yang diminta oleh pemerintah. Tentu saja, pejabat pemerintah yang dirujuk punya alasan banyak alasan untuk mengelak. Instansi yang menggunakan nomenklatur lingkungan hidup (misalnya: Kementerian Lingkungan Hidup atau Dinas/Badan Pengendalian Dampak Lingkungan) adalah lembaga yang kemungkinan besar akan dituding bersalah. Tetapi, dengan mengacu pada berbagai aturan main yang ada, lembaga-lembaga tersebut memang tidak memungkinkan mereka satu-satunya fihak yang harus dimintai pertanggungjawaban. Bukan lembaga ini yang memberikan ijin usaha, dan lembaga yang mengeluarkan ijin ini memang tidak secara khusus/serius ditugasi untuk menjaga kualitas lingkungan hidup.
Menurutnya, rencana nyata dalam penyelesaian masalah pelanggaran hukum lingkungan selanjutnya meliputi membangun sistem penataan, mengangkat kasus-kasus tertentu di tingkat KNLH sementara kasus yang lain di daerah serta peningkatan kapasitas dari aparat penegak hukum terkait.
Kita tahu bahwa masalah lingkungan sebetulnya telah lama menggejala, dan baru beberapa puluh tahun terakhir mendapatkan perhatian serius dan luas. Artinya kajian manajemen lingkungan sebetulnya adalah kajian yang relatif baru. Pesatnya perkembangan kajian ini sejalan dengan semakin seriusnya ancaman yang mengedepan karena kerusakan lingkungan.
Dari segi manajemen, idealnya setiap individu atau setidaknya setiap rumah tangga adalah suatu unit manajemen lingkungan. Mereka terus-menerus menjalin interaksi dengan lingkungan untuk menyambung hidupnya, untuk mengejar kemajuan dan kesejahteraannya. Namun, ancaman kerusakan lingkungan hidup telah hadir dalam skala yang massive. Kerusakan lingkungan hidup telah hadir sebagai suatu ancaman krisis yang berskala luas. Untuk itu, maka mutlak diperlukan “mesin” manajemen yang memungkinkan tergalang respon yang sepadan dengan skala permasalahan yang mengedepan. Dalam setting pemikiran seperti itulah maka berkembanglah keinginan untuk menggunakan negara sebagai mesin manajemen lingkungan. Hal ini sejalan dengan menyeruaknya tuntutan publik agar negara melakukan sesuatu agar persoalan lingkungan bisa teratasi.
Dalam melakukan refleksi ini ada hal penting untuk dicermati. Upaya untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup dilakukan dengan cara “memperalat” negara. Harap dimaklumi, negara tidak diciptakan secara khusus untuk menjadi pengelola lingkungan hidup, dan penggunaan kekuasaan negara untuk kepentingan pengelolaan lingkungan hidup, justru menyeret kita pada persoalan-persoalan yang tidak terantisipasi sebelumnya.
Kapasitas negara untuk menjalankan suatu skema manajemen sangat tergantung dari kapasitas kelembagaan birokrasi pemerintahan. Pertanyaannya, apakah birokrasi memang merupakan intrumen yang tidak bermasalah dalam menjalankan rencana-rencana pengelolaan lingkungan. Birokrasi, pada dasarnya, mengatasi masalah apapun dengan cara mengurai persoalan ke dalam kepingan-kepingan yang bisa ditangani. Ketika pembangunan ekonomi menjadi obsesi pemerintahan Orde Baru, beban atau persoalan pembangunan pecah-pecah secara sektoral. Ketika ditargetkan agar pembangunan berlangsung berlangsung di seluruh wilayah negeri ini, persoalan pembangunan dipecah-pecah ke dalam wilayah-wilayah pembangunan yang sama dan sebangun dengan yurisdiksi para pejabat birokrasi. Akibatnya, penanganan pembangunan senantiasa terhalang oleh persoalan koordinasi. Dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sebagai suatu entitas ekologis yang utuh, birokrasi pemerintah dimanapun di muka bumi ini mengalami permasalahan serius karena kecenderungannya untuk memotong-motong persoalan dalam keratan sektoral dan teritorial.
Keterbatasan birokrasi pemerintah untuk diperankan sebagai instrumen utama pengelolaan lingkungan hidup sejauh ini tidak pernah diwacanakan di Indonesia. Yang terjadi justru sebaliknya. Birokrasi pemerintahan diharapkan untuk menyelesaikan masalah-masalah publik yang mengedepan. Para pakar lingkungan yang menggeluti kajian managemen lingkungan memperjuangkan agar negara menggunakan kapasitasnya untuk itu.
Pertama-tama mereka melakukan serangkaian advokasi kebijakan agar negara memiliki organ khusus yang memilikirkan dan menangani persoalan-persoalan lingkungan yang mengedepan. Di Indonesia, hal ini ditandai dengan pembentukan Kementerian Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, yang belakangan ini berubah menjadi Kementerian Lingkungan Hidup. Adanya lembaga yang secara khusus memikirkan lingkungan hidup ini telah memungkinkan terjadinya replikasi pendekatan managerialistik dalam setiap organ pemerintahan. Managemen lingkungan hidup ditumbuhkembangkan si setiap sektor birokrasi pemerintahan.
Untuk meyakinkan proposisi tersebut di atas, mari kita cermati negara sebagai suatu sistem manajemen. Melalui organisasi yang bernama birokrasi, negara memberlakukan berbagai kegiatan manajemen. Apa yang hendak dilakukan oleh (tepatnya atas nama) negara, direncanakan oleh berbagai unit perencanaan. Untuk mengkoordinasikan kegiatan instansi di berbagai sektor, birokrasi pemerintahan telah melengkapi diri dengan lembaga koordinasi dan prosedur koordinasi. Hal-hal tersebut di atas, diberlakukan melalui jenjang komando yang dikendalikan secara hierarkhis. Karena adanya sistem manajemen ini, keputusan-keputusan politik yang dibuat oleh para pejabat bisa diberlakukan dan bahkan dipaksakan oleh negara. Artinya keputusan yang dibuat oleh seseorang, yang karena berposisi sebagai presiden atau menteri, memiliki efek sistemik terhadap lingkungan ketika diberlakukan. Untuk jelasnya, mari kita lihat kasus sederhana: efek sistemik dari penandatanganan SK tentang HPH (Hak Pengusahaan Hutan) kepada suatu perusahaan.
Dalam penyelenggaraan negara, kita tahu para pejabat teras memiliki kewenangan untuk memetapkan kebijakan di dalam lingkup tugasnya. Atas nama Undang-undang Kehutanan yang dikeluarkan pada tahun 1967, Departemen Kehutanan mengeluarkan kebijakan yang esensinya membuka diri bagi keterlibatan perusahaan swasta untuk melakukan eksploitasi hutan. Kepada perusahaan tertentu Departemen ini memberikan hak pengelolaan hutan melalui selembar Surat Keputusan (SK HPH). Apa yang terjadi setelah pemberian SK ini sangat jelas. Pertama, para pengusaha memiliki hak untuk menebangi ratusan ribu hektar kawasan hutan. Sejak diberlakukannya skema HPH di awal Orde Baru, luasan kawasan hutan merosot. Kedua, pemerintah sebetulnya telah melengkapi diri dengan serangkaian prosedur dan ketentuan untuk menjalankan skenario manajemen sumberdaya hutan. Sungguhpun demikian, kerusakan hutan tetap saja tidak terelakkan. Disain teknis manajerial yang ditetapkan banyak yang tidak ditepati oleh pemegang HPH dan manajemen pemerintahan yang ada telah membiarkan pelanggaran ketentuan HPH ini tidak terkena sanksi. Wal hasil, degradasi hutan dalam skala yang massif di negeri ini harus kita terima sebagai realita yang memilukan.
Point yang ingin diperlihatkan dari ilustrasi di atas adalah bahwa penggunaan otoritas negara (tepatnya penandatanganann sebuah SK HPH) punya implikasi serius bagi nasib hutan. Mohon tidak dilupakan, kerusakan hutan dalam skala yang massif ini telah menghadirkan serentetan dampak yang sebelumnya tidak terantisipasi dengan baik. Secara ekonomi-politik kita melihat ada sekelompok kecil orang yang kaya raya dari bisnis pengusahaan hutan, dan di sisi lain ada jutaan manusia yang kehilangan hutan sekaligus kehilangan jasa-jasa ekologis yang sebelumnya bisa dinikmatinya begitu saja. Singkat kata, penggunaan kekuasaan negara memiliki efek sistemik yang luas, dan praduga bahwa negara adalah manajer lingkungan yang baik ternyata sulit diyakini kebenarannya dalam praktek di Indonesia.
KONFLIK
Dalam hal ini, konflik struktural sering menjadi penyebab terjadinya konflik lingkungan/SDA. Konflik ini berpangkal pada adanya ketimpangan sosial, ekonomi dan politik antara para pihak, termasuk dalam akses terhadap Sumber Daya Alam (SDA). Terkait dengan SDA, secara umum terdapat beberapa hal yang menjadi faktor rentan konflik, yakni:
a. SDA bersifat dependent dan keterpautan, artinya adanya ketidakseimbangan satu komponen akan berakibat pada komponen yang lain. Demikian juga perubahan disuatu lokasi akan meningkatkan akibat ditempat lain.
b. SDA pada dasarnya bersifat terbatas dan bersifat langka (scarcity), sedangkan disi lain kebutuhan dan permintaan akan selalu meningkat. Untuk itulah akan terjadi persaingan antar pihak yang berkepentingan terhadap SDA tersebut.
SDA digunakan masyarakat dengan cara yang ditentukan oleh budaya dan latar belakangnya. Orang berkompetisi terhadap lahan, hutan dll bukan hanya sebagai sumber ekonomi tetapi juga bagian dari cara hidupnya/budaya
1. Konflik kebijakan pengelolaan
Konflik pada tingkatan ini merupakan konflik yang berada pada tataran regulasi dan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan. Banyak konflik lingkungan yang timbul sebagai akibat dari adanya kebijakan yang kabur (tidak jelas), adanya kebijakan yang tumpang tindih antara pusat dan darerah serta adanya tumpang tindih kebijakan lama dan kebijakan yang baru. Bagaimana mungkin melaksanakan pengelolaan lingkungan dengan baik apabila pada tingkatan regulasi saja sudah terdapat berbagai tumpang tindih regulasi. Bercermin pada hal ini, diharapkan kepada pihak pemerintah, khususnya DPRD dan Dewan Evaluasi Kota agar dapat mensinergiskan berbagai kebijakan maupun regulasi yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup, sehingga antar kebijakan maupun peraturan dapat saling mendukung, baik antara pemerintah pusat dan daerah maupun antara kebijakan yang telah lama dengan kebijakan yang baru.
2. Konflik kewenangan dan peran
Konflik ini biasanya muncul sebagai akibat dari adanya tarik menarik peran antar pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Banyak terdapat sistem pelaksanaan yang mengakibatkan munculnya tarik menarik peran. Hal ini didukung seiring dengan diberlakukannya sistem otonomi daerah. Di satu sisi, pihak pemerintah daerah merasa memiliki peran wewenang yang lebih besar dibandingkat pemerintahan pusat. Sementara disisi lain pemerintah pusat mengklaim bahwa peran dan wewenang tersebut berada di tangan mereka.
3. Konflik yang terkait terhadap isu-isu di level grass root
Pada tingkatan ini, konflik biasanya terjadi seputar permasalahan hak ulayat, proverty dan disparitas dalam pengelolaan lingkungan. Di satu sisi masyarakat merasa memiliki lingkungan sekitarnya yang merupakan hak turun temurun dari leluhur mereka sementara di sisi lain mereka tidak memiliki bukti-bukti / legalitas secara hukum. Konflik yang timbul pada tingkatan ini nantinya akan menimbulkan suatu konflik yang bersifat struktural.
Terdapat berbagai konsep yang dapat menjelaskan penyebab timbulnya konflik lingkungan. Tentu saja untuk mengidentifikasinya kita perlu memahami terlebih dahulu bagaimana kondisi dan latar belakang sosial yang ada. Terdapat enam hal yang menjadi penyebab utama timbulnya konflik lingkungan.
1. Konflik lingkungan timbul sebagai akibat dari konsep bahwa lingkungan adalah sebuah sistem yang dapat mengalami kerusakan pada waktu dan bagian tertentu, sehingga banyak terjadi eksploitasi dan monopoli terhadap lingkungan.
2. Lingkungan bersifat common resources, dimana akan terjadi terik menarik kewenangan dan tanggungjawab antara pihak-pihak yang terkait dan yang berpotensi untuk terlibat.
3. Konflik lingkungan timbul sebagai akibat dari regulasi yang mengatur tata cara pengelolaan lingkungan tersebut.
4. Bersifat scarcity, dimana pada waktunya nanti akan terjadi suatu kelangkaan sehingga muncul berbagai keinginan dari berbagai pihak yang cenderung untuk menguasai
5. Konsep lingkungan yang hanya dipandang pada koridor ekonomi saja, dimana pada dasarnya lingkungan juga memiliki fungsi sebagai identitas sosial
Peran Pemerintah : DPRD dan Dewan Evaluasi Kota
Secara umum, DPRD dan Dewan Evaluasi Kota memiliki peran yang mengacu pada UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 (Pasal 10) kewajiban pemerintah adalah :
a. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab para pengambil keputusan dalam pengelolaan lingkungan hidup
b. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, dan meningkatkan kesadaran akan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup
c. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan Pemerintah dalam upaya pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
d. Mengembangkan dan menerapkan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup yang menjamin terpeliharanya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
e. Mengembangkan dan mengembangkan perangkat yang bersifat preemtif, preventif, dan proaktif dalam upaya pencegahan penurunan daya dukung dan daya tampung lingkunagn hidup
f. Memanfaatkan dan mengembangkan teknologi yang akrab lingkungan hidup
g. Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan di bidang lingkungan hidup
h. Menyediakan informasi lingkungan hidup dan menyebarluaskannya kepada masyarakat;
i. Memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang berjasa di bidang lingkungan hidup
Sementara itu, mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 6 tahun 2005, DPRD secara mendasar memiliki fungsi legislatif, anggaran dan pengawasan. DPRD memiliki wewenang untuk membentuk Perda dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam konteks pengelolaan lingkingan, pihak DPRD diharapkan dapat membuat berbagai regulasi yang dituangkan dalam bentuk Perda ataupun peraturan perundang-undangan dimana pembentukan peraturan tersebut berdasarkan pada prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan yang berbasis pada sustainibility dan partisipatif. Hal ini menjadi dasar yang sangat penting mengingat pengelolaan lingkungan yang berbasis pada kosep tersebut dapat meminimalisasi terjadi konflik khususnya konflik dalam pengelolaan lingkungan.
Secara lebih spesifik, DPRD dan Dewan Evaluasi Kota memiliki berbagai peran yang berada pada tataran kebijakan dan fasilitasi. Dalam hal ini DPRD dan Dewan Evaluasi Kota diharapkan dapat berperan sebagai :
1. Regulator dalam pembuat kebijakan-kebijakan yang menyangkut pengelolaan lingkungan hidup.
2. Mediator multi stakeholders, dimana berfungsi memfasilitasi stakeholders lain (masyarakat dan dunia usaha) dalam usaha melakukan pengelolaan lingkungan yang baik dan berkelanjutan
3. Sebagai mitra dari eksekutif dan legislatif untuk melakukan evaluasi atas berbagai kebijakan pembangunan lingkungan di suatu daerah
4. Menyiapkan rekomendasi atas berbagai temuan masalah dan hasil evaluasi yang dilakukan
Selain hal tersebut diatas, DPRD dan Dewan Evaluasi Kota juga harus berada pada koridor konsep environmental leadership dalam melaksanakan fungsi dan perannya. Dalam melaksanakan fungsi dan perannya DPRD dan Dewan Evaluasi Kota sebaiknya dapat membangun kesadaran kritis terhadap isu-isu lingkungan, memotivasi dan mengembangkan kapasitas dan kapabilitas untuk melakukan aksi. Hal ini mengartikan sejauh mana orang mempunyai pemahaman yang koperhensif beta pentingnya menjaga lingkungan, agar lingkungan itu kondusif buat generasi selanjutnya sepanjang masa, ini terkait kepada tingkatan DPRD dan Dewan Evaluasi Kota adalah pada pengambil kebijakan, sehingga diharapkan segala regulasi yang dibentuk dapat benar-benar dibentuk sinergis dengan berbagai elemen stakeholders. Perlu juga menjadi perhatian bahwa untuk mewujudkan konsep environmental leadership, harus didukung oeh suatu sistem yang benar-benar kondusif sehingga peningkatan kapasitas dapat dilakukan seiring dengan perbaikan sistem.
Implikasi Konseptual
Terdapat urgensi untuk menggusur cara pandang yang antroposentris. Hal ini relevan meningat beberapa hal berikut ini. Pertama, bahwa lingkungan hidup tidak semestinya diperlakukan sebagai benda yang independent. Lingkungan hidup tidak cukup difahami semata-mata sebagai realita bio-fisik. Bekerjanya sistem bio-fisik (ekosistem) memiliki pengaruh tertentu terhadap bekerjanya sistem sosial. Sebaliknya, bekerjanya sistem sosial mempengaruhi proses bio-fisik yang terkait. Oleh karena itu, lingkungan hidup perlu senantiasa difahami kaitannya dengan masyarakat yang berinteraksi dengannya. Artinya:
• Yang perlu di-manage bukan hanya lingkungan sebagai entitas bio-fisik tersebut, namun juga pola interaksi sosial yang berlangsung.
• Yang perlu dicermati bukan hanya perubahan kondisi bio-fisik lingkungan, namun juga bekerjanya sistem-sitem sosial yang berlangsung.
Kedua, kemajuan peradaban berjalan seiring dengan kemampuan untuk mengubah kondisi alam (lingkungan bio-fisik). Perkembangan kehidupan masuarakat yang semakin modern berjalan seiring dengan pola konsumsi sumberdaya alam yang semakin tinggi, dan penciptaan limbah yang semakin besar. Modernitas membawa kehidupan yang secara sistemik semakin riskan. Pada saat yang sama, tata kehidupan modern semakin mengandalkan pada bekerjanya tatanan yang sifatnya terlembaga, terbakukan secara struktural dan membudaya. Kehidupan modern hanya bisa berlanjut ketika ditunjang oleh suatu bentuk ketahanan sistemik. Ini berarti bahwa, kerentanan pada tataan sistemik bisa meruntuhkan sistem sosial maupun sistem bio-fisik (ekosistem). Oleh karena pertimbangan di atas itulah maka diyakini bahwa, kunci dari pengelolaan lingkungan adalah pengelolaan pola interaksi sosial.
Ketiga, interaksi sosial sejauh memiliki bentuk yang beraneka ragam. Sungguhpun demikian, pola interaksi yang ada pada dasarnya bisa dipetakan coraknya. Ada corak yang sangat mengandalkan konsistensi hierarkhis di satu ekstrim, dan ata corak yang sangat mengandalkan mekanisme transaksi suka rela. Pola interaksi yang pertama sangat jelas terlihat pada bekerjanya birokrasi pemerintahan, dan pola yang lain kita kenal sebagai mekanisme pasar.
• Birokrasi bekerja atas dasar perintah yang ditentukan dari atasan atau fihak yang memiliki kewenangan lebih tinggi. Bekerjanya sistem yang birokratis sangat ditentukan oleh kepatuhan terhadap yang telah dirumuskan secara hierarkhis.
• Mekanisme pasar pada hakekatnya adalah mekanisme transaksi suka sama suka. Melalui pertukaran (exchange) antara yang kelebihan dengan yang kekurangan, atau antara pemasok dan pembeli berlangsung.
Poin yang ingin dikedepankan di sini adalah bahwa nasib lingkungan hidup sangat ditentukan oleh bekerjanya mekanisme pasar maupun bekerjanya birokrasi pemerintahan. Ini berarti bahwa, titik strategis dalam pengelolaan lingkungan adalah pencermatan terhadap bekerjanua mekanisme pasar maupun bekerjanya mesin pemerintahan.
Keempat, ‘negara’ dan ‘pasar’ adalah mekanisme yang secara alamiah telah terpola dalam kehidupan sehari-hari. Pengamatan sejauh ini memperlihatkan bahwa kebijakan negara sangat sensitif terhadap sentimen pasar, dan sebaliknya sentimen pasar sangat mengkondisikan apa yang akan diputuhkan oleh pejabat. Oleh karena itu, yang menjadi persoalan terpenting bukan memilih interaksi yang dilakukan birokrasi namun juga interaksi sosial yang berdasar mekanisme pasar. ‘Negara’ dan ‘pasar’ bukanlah pilihan, melainkan pola yang harus dicermati dan dikelola. Di masa lalu, ketika yang menjadi kepedulian adalah peran negara maka yang menjadi kerangka fikir adalah apa yang harus dilakukan oleh negara dalam pengelolaan lingkungan hidup. Nasib lingkungan hidup sangat ditentukan oleh kemampuan negara. Seiring dengan semakin dominannya pola interaksi berbasis pasar dalam kehidupan sehari-hari maka wacana yang berkembang mengalami pergeseran, dari ‘government’ ke ‘governance’. Yang dipentingkan bukan agency yang terlibat namun juga interaksi antar agency tersebut.
Sehubungan dengan point keempat tersebut di atas, perlu kiranya dicermati adanya kecenderungan untuk mengedepankan peranan pasar dalam memahami good governance. Sebagai contoh, good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan yang tidak didominasi pemerintah melainkan pemerintahan yang partisipatif. Pemerintahan yang baik adalah yang akuntabel, bukan hanya memuaskan dirinya sendiri. Dalam bentuk seperti inilah wacana good governance erat kaitannya dengan pelembagaan format a la neo-liberal. Format yang diiedealkan adalah yang kuat namun lingkupannya hanya pada hal-hal yang tidak bisa dikelola oleh aktor-aktor non negara. Pembahasan sekelumit tentang wacana good governance tersebut di atas memang relevan mengingat negara justru bermasalah ketika mengemban tanggung jawab dalam pengelolaan lingkungan hidup. Hanya saja, tidak ada kita juga harus ingat bahwa pengurangan peran pemerintah tidak menjanjikan apa-apa kalau masyarakat juga memiliki kesalahan yang sama dengan pememrintah: berfikir etnosentrik ataupun teknosentrik.
Implikasi Praktis
Sebetulnya tidak fair kalau dikatakan bahwa upaya untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup selama ini tidak membuahkan hasil sama sekali. Yang sebetulnya terjadi adalah, kemapuan untuk mengatasi persoalan lingkungan tidak diikuti dengan penghentian kecenderungan destruktif: seperti pola konsumsi sumberdaya alam yang terus meningkat dan bahkan semakin boros seiring dengan tingkat kesejahteraan yang dicapai. Sehubungan dengan hal itu, maka pengembangan etika dan etos yang konsisten dengan kepentingan lingkungan menjadi keharusan yang tidak bisa di tawar. Kalau toh pengelolaan lingkungan hidup harus mengandalkan mekanisme pasar, pada pelaku pasar tersebut perlu mengadopsi etika lingkungan sedemikian sehingga transaksi-transaksi yang terjadi hanya dilakukan di atas kepatuhan terhadap spirit ekologis. Paralel dengan hal itu, para pejabat negara bisa mengemban amanat pengelolaan lingkungan hidup dibalik setiap keputusan yang diambilnnya sekiranya mereka juga mengadopsi etika lingkungan.
Pertama, issue sentral dalam pemikiran dan pengembangan governance adalah kesadaran akan adanya keterkaitan berbagai fihak. Sehubungan dengan hal itu, maka kesadaran tentang sistem merupakan persoalan sentral. Perlu diingat, yang harus disadarkan tentang bekerjanya sistem bukan hanya masyarakat awam melainkan justru para aktor strategis: pejabat, pengusana, teknokrat dan tokoh-tokoh yang lain.
Kedua, kalau kita ingin tetap memakai framework managerial dalam pengelolaan lingkungan hidup, koordinasi merupakan titik strategis dalam pengembangan environmental governance. Hanya saja, perlu dicatat bahwa koordinasi tidak cukup melibatkan aparat birokrasi atau para manager, melainkan melibatkan seluas mungkin stake holder. Untuk itu, mari kita cermati contoh kasus berikut ini.
KESIMPULAN
a. Memperkuat dan memperluas aplikasi ketentuan hukum yang berlaku
sekarang dan persetujuan internasional untuk mendukung pembangunan
berkelanjutan (to strengthen and extend the application of existing and
international agreement in support of sustainable development)
b. Mengakui dan menghormati hak-hak dan kewajiban individu dan negara
secara timbal balik bertalian dengan pembangunan berkelanjutan, dan
melaksanakan kaidah-kaidah baru pada perilaku negara dan antar negara
untuk memungkinkan pembangunan berkelanjutan dapat diwujudkan (to
recognise and respect the reciprocal rights and responsibility of individuals
and State regarding sustainable development, and to apply new norms for
State and interstate behaviour to enable this to be achieved);
c. Memperkuat metode yang telah ada dan mengembangkan prosedur baru
untuk menghindari dan memecahkan pertikaian lingkungan dan masalah.
Pengelolaan sumberdaya alam (to rainforce existing methods and develop
new procedures for avoiding and resolving disputes on environment and
resource management issues).
Implikasi dari Prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan Dalam
Pengelolaan Sumberdaya Alam Pada Pembentukan Hukum Nasional
a. Pertama prinsip pembangunan berkelanjutan akan membawa pengaruh pada
prinsip hukum tradisional, yang harus menyesuaikan diri pada perkembangan
ilmu dan teknologi yang membawa dimensi baru pada aspek-aspek hukum dari
proses pembangunan (development concept). Secara harfiah, kata
pembangunan membawa kondisi dan nilai-nilai baru yang akan mempengaruhi
nilai-nilai yang ada, baik secara ekonomi maupun sosial, sehingga diperlukan
proses penyesuaian terhadap kebutuhan baru (new need).
b. Prinsip yang mengatur pembangunan berkelanjutan disamping prinsip-prinsip
pengelolaan lingkungan juga prinsip yang memberikan refleksi pendekatan
‘sustainable’ sebagai standar tingkat penggunaan atau eksploitasi sumberdaya
alam tertentu. Sustainable dalam arti ini dapat diartikan sebagai pemanfaatan
secara optimal, seperti dalam hukum laut yang mengatur pemanfaatan
sumberdaya laut, misalnya dengan istilah ‘the optimum level of whale stocks’,
‘optimum sustainable yields’ dan optimum utilization yang didasarkan pada standar
yang menjamin pelestarian lingkungan35.
c. Pengembangan prinsip-prinsip Deklarasi Stockholm ke dalam prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan merupakan perkembangan mendasar pada
pembentukan hukum sumberdaya dan lingkungan baik nasional maupun
internasional. Prinsip-prinsip yang telah berkembang sejak Laporan Komisi
Brundtland 1987 dikukuhkan dalam konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di
Rio de Jenairo pada tahun 1992, baik konvensi Internasional tentang Lingkungan
Hidup maupun Undang-Undang Lingkungan Nasional telah mengalami perubahan
mendasar, khususnya dalam pengelolaan sumberdaya alam terkait dengan
pendekatan hukum baru yang mengintegrasikan pembangunan lingkungan,
ekonomi dan sosial sebagai komponen pembangunan berkelanjutan36.
35 Philippe Sands, Principles of International Environmental Law, 1995
36 Johannesburg Summit 2002, Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan
d. KTT Johannesburg, yang dikenal luas sebagai World Summit on Sustainable
Development membawa perkembangan baru yang memperkuat dalil saling
ketergantungan dan saling memperluas antar komponen pembangunan
berkelanjutan, yaitu (1) pembangunan ekonomi, (2) pembangunan sosial, dan (3)
perlindungan daya dukung ekosistem. Pada tahap ini pendekatan bottom-up as a
new Von Savigny theory of law in scientific perspective dapat memberikan peluang
baru bagi teori hukum Van Savigny dilihat dari perspektif ilmu sosial melalui modelmodel
paparan yang memiliki ‘descriptive power’ bagi analis hukumnya37.
e. Perkembangan hukum pembangunan berkelanjutan mempengaruhi pula gagasan
pembentukan hukum pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia. Sejak tahun
2000, pemikiran dan diskusi di bidang pengelolaan sumberdaya alam.
Berdasarkan pradigma baru telah mendorong terbentuknya kebijakan makro
pemerintah dalam bentuk TAP MPR No: IX/2002 tentang pembaharuan dan
pengelolaan sumberdaya alam. Gagasan dan prinsip-prinsip hukum pengelolaan
sumberdaya alam yang terbentuk dalam keputusan Majelis ini, merupakan salah
satu bentuk refleksi tuntutan baru sistem hukum sumberdaya alam Indonesia di
bawah konsep pembangunan berkelanjutan.
f. Terbentuknya kebijakan dasar di atas, yang akan memberikan arah perkembangan
hukum sumberdaya di masa yang akan datang perlu diberikan peluang
memperoleh pengujian secara akademis, kebutuhan praktis baik sebagai dasar
kebijakan kegiatan dalam pembangunan, maupun kebutuhan praktek di kalangan
pengguna jasa hukum dalam arti yang luas. Pendekatan hukum yang bersifat
holistik yang telah berkembang baik melalui hukum lingkungan, menuntut
perubahan secara mendasar dari ketentuan hukum lama yang bersifat sektoral,
seperti antara lain bidang kehutanan, pertambangan, perikanan, pengairan,
pertanahan, dan pertanian.
g. Arah perkembangan, resistensi, perdebatan konsep dan gagasan baru hukum
sumberdaya alam dalam perspektif sosial dan ekonomi menuntut partisipasi
semua kelompok utama, penguat peranan dan kemampuan otoritas-otoritas lokal
dan institusi pembangunan berkelanjutan.
h. Sebagimana diuraikan diatas, selain terjadinya perubahan cara pandang baru
pembentukan hukum dari yang semula berpusat pada budaya manusia saja
(anthropo-centric) ke dalam paradigma baru yang berpusat pada budaya
ekosistem (eco-centric), juga meletakkan dasar konsep hukum lingkungan baru.
Perkembangan hukum baru ini disebut oleh Maurice Strong, Sekertaris Jenderal
Konferensi PBB tentang lingkungan Hidup sebagai ‘a first step in development
international environmental law’. Prinsip-prinsip dalam Deklarasi Stockholm telah
menjadi model pembentukan undang-undang lingkungan hidup (UULH) nasional di
berbagai negara, termasuk Indonesia.
i. Dalam perkembangan selanjutnya, berbagai negara, seperti di Amerika Serikat,
Filipina, New Zealand, terutama pada tahun 1990-an, telah melakukan
pembahasan terhadap kerangka hukum pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan. Pada tahun 1974, peneliti saya di beberapa unversitas di Amerika
Serikat terhadap pengembangan hukum pengelolaan sumberdaya alam, antara
lain, university of Michigan melalui penelusuran kepustakaan hukum sumberdaya
alam menunjukkan pentingnya pendekatan hukum ini terintegrasi dengan hukum
lingkungan. Sejak berkembang konsep, prinsi-prinsip hukum pembangunan
berkelanjutan melalui komisi ahli hukum lingkungan dan pembangunan sejak tahun
1990-an, bidang hukum pengelolaan sumberdaya alam telah membawa perspektif
baru pembentukan hukum melalui perjanjian internasional dan perundangundangan
nasional. Dalam rangka pembahasan rancangan perundang-undangan
pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia, Manjit Iqbal, sebagai legal Officer
UNEP di Asia Pasifik yang berkedudukan di Bangkok, sebagai pembicara tamu
menjelaskan perkembangan pembentukan hukum yang mulai mengintegrasikan
UUHL dan UU sumberdaya alam dalam satu kerangka hukum (legal Framework) .
oleh karena itu, berdasarkan alasan-alasan di atas, gagasan pengembangan
hukum pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia, cukup beralasan saat ini.
j. Secara politik, dikeluarkannya TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang pembaharuan
Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, merupakan penguatan ke arah
gagasan pembaharuan hukum pengelolaan sumberdaya alam. Kajian akademis
terhadap ketentuan hukum dalam peraturan perundang-undangan tentang
sumberdaya alam yang berlaku saat ini, masih memperlihatkan berbagai masalah
hukum yang bersifat mendasar, selain itu, pendekatan hukum baru ini bersifat multi
dan interdisipliner, suatu kedekatan yang umum dianut saat ini.
k. Pengaruh dari konsep pembangunan sosial budaya dapat pula dilihat dari
paradigma baru yang menyertai otonomi daerah serta mendorong perkembangan
baru dalam pembentukan peraturan daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Desentralisasi pengambilan keputusan dalam
sistem perizinan dalam pembangunan daerah merupakan salah satu
perkembangan baru bagi pembentukan kaidah-kaidah hukum pembangunan
nasional. Pembentukan peraturan daerah (PERDA) di bawah Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) misalnya, merupakan perubahan secara mendasar dalam
pembentukan peraturan yang bersifat operasional di daerah saat ini. Undangundang
baru juga membuka peluang baru bagi daerah memasuki perjanjian
internasional dan regional secara tegas. Pengaruh perkembangan globalisasi
dalam perkembangan hukum lingkungan dan sumberdaya alam di daerah perlu
diperhatikan dalam proses pembentukan peraturan daerah.
l. Persoalan selanjutnya, bertalian dengan makin menguatnya posisi daerah dalam
pengelolaan sumbedaya alam ialah pengembangan kapasitas lembaga di daerah.
Agar pengaruh yang makin kuat ini, berjalan efektif, maka perlu pengembangan
institusi yang mempunyai:
a. kemampuan untuk melakukan koordinasi lintas sektor;
b. unit lembaga yang mempunyai peran koordinasi yang efektif;
c. kewenangan mengatur dan mengambil keputusan dalam sistem pemberian
izin kegiatan;
d. kemampuan menginternalisasikan budaya partisipasi dan kinerja yang baik;
e. kepemimpinan yang tidak berpihak dan memahami konsep pembangunan
berkelanjutan’ dan
f. kemampuan menumbuhkan pembentukan dana lingkungan.
Pengembangan institusi yang mampu mendorong perubahan konsep budaya
partisipasi masyarakat yang konstruktif, koodinasi lintas sektor yang produktif,
desentralisasi keputusan yang acceptable dan efektif, pendekatan hukum lintas
sumberdaya yang memperhatikan daya dukung lingkungan, dan terbuka pada
pertimbangan ilmu dan teknologi secara positif.
m. bentukan peraturan daerah dalam pembangunan berkelanjutan dalam
pengelolaan sumberdaya alam yang berorientasi pada peranan pemangku
kepentingan di daerah akan membawa pengaruh pada bentuk-bentuk peran serta
berdasarkan konsep baru mekanisme konsultasi publik.

Categories:

PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN PADA ERA REFORMASI

Iss Moerad 17.59

Penegakan Hukum Lingkungan pada Era Reformasi -- Absori 221

Absori, S.H., M.Hum.
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta
Abstract
Environmental problem in the context of sustainable development is not
part away of market mechanism which does not take care of social and
environment signs. For this reason, it is necessary to do corrections on its weakness on
intention to make balance on social and environment development in one hand and
the economic development on the other hand. Intervention can be done by three parties
institution, consist of Government, Entrepreneurs, and the Society. Among the
three force must be arranged “check and balance” relationship at the same level in
order that the three force can be remain continually in balance.
Kata kunci: ultimum remedium, sistem satu atap, rejim inkrementalisme
PENDAHULUAN
Pencemaran dan kerusakan lingkungan di Indonesia telah terjadi di manamana.
Dari tahun ke tahun akumulasinya selalu bertambah dan cenderung tidak
dapat terkendali, seperti kerusakan dan kebakaran hutan, banjir pada waktu
musim punghujan, dan kekeringan pada waktu musim kemarau. Berbagai bencana
alam terjadi di berbagai daerah, seperti banjir bandang dan tanah longsor,
terjadi di Pacet (2002), Bohorok (2003), Jember (2005), Bajarnegara (2006)
dan Gempa Bumi di Yogyakarta (2006).
Demikian juga kerusakan terumbu karang, pencemaran air (sungai), tanah
dan udara di berbagai daerah sudah mencapai pada tarap yang amat mengkhawatirkan.
Semuanya itu akibat dari perilaku manusia melalui berbagai kegiatan
yang menempatkan alam sebagai komoditas yang hanya diperlakukan sebagai
objek eksploitasi, media pembuangan, dan kegiatan industri tanpa menghiraukan
bahwa lingkungan itu materi yang mempunyai keterbatasan dan bisa mengalami
kerusakan.
222 Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 2, September 2005: 221 - 237
Pencemaran yang mendapat perhatian begitu luas adalah pencemaran
lingkungan laut yang terdapat di Teluk Buyat, Sulawesi Utara (2004). Pencemaran
lingkungan laut terjadi akibat pembuangan limbah industri tambang
yang terjadi di Teluk Buyat telah menimbulkan penyakit yang ditengarai sebagai
penyakit “minamata”, suatu jenis penyakit yang menakutkan yang pernah terjadi
di Jepang akibat makanan yang dikonsumsi terkontaminasi logam berat berupa
arsen dan merkuri. Sebagai pihak yang dituduh bertanggung jawab adalah
perusahaan penambangan emas PT Newmont Minahasa Raya yang diduga telah
melakukaan pembuangan limbah tambang di Teluk Buyat.
Disusul sekarang musibah menyemburnya lumpur panas PT Lapindo
Brantas, Porong, Sidoarjo yang sudah lebih tiga bulan belum dapat diatasi.
Langkah penanganan yang dilakukan dengan cara membuat tanggul terbukti
tidak aman, karena beberapa kali tanggul jebol menyebabkan banjir lumpur di
sejumlah desa. Jika semburan lumpur terus berlangsung dalam waktu tiga bulan
ke depan diperkirakan 400 hektar lahan di 10 desa akan tergenang. Upaya untuk
mengatasi dengan cara membuang lumpur ke laut akan menimbulkan masalah
baru, yakni akan mengggu biotik laut dan dikhawatirkan akan mencemari
perairan laut dan wilayah pesisir.
Sebagai respon terhadap berbagai petaka lingkungan, masyarakat yang
menjadi korban dan peduli lingkungan berupaya untuk melakukan penuntutan
penegakan hukum lingkungan dilakukan dengan sungguh-sungguh dalam rangka
melindungi lingkungan yang sudah sedemikian parah. Kenginan semacam
ini muncul di berbagai daerah sebagai bagian dari upaya untuk menuntut hakhaknya
atas lingkungan hidup yang sehat dan baik. Karena mereka tahu bahwa
kerusakan lingkungan akibatnya cepat atau lambat akan menimpa manusia
sendiri.
Menurut Ton Dietz upaya yang dilakukan masyarakat pada mulanya murni
lingkungan, yakni mereka yang memperjuangkan masalah lingkungan demi
lingkungan sendiri. Dengan risiko apa pun lingkungan harus dilindungi. Di
samping, itu terdapat kepentingan yang tidak untuk melindungi lingkungan
itu sendiri, tetapi demi kelangsungan pertumbuhan ekonomi dan penumpukan
modal (kapitalisme) supaya terjamin keajegan pasokan bahan baku industri
sehingga pertumbuhan ekonomi akan terus berlangsung. Selanjutnya berkembang
keinginan untuk melakukan advokasi lingkungan untuk melakukan
penegakan dan pembaruan hukum likungan. Advokasi yang dilakukan diprakarsai
oleh aktivis lingkungan yang sangat memihak kepada kepentingan rakyat
Penegakan Hukum Lingkungan pada Era Reformasi -- Absori 223
dan lingkungan untuk kesejahteraan masyarakat.1
INSTRUMEN HUKUM PIDANA LINGKUNGAN
Penegakan hukum lingkungan dalam berbagai kasus pencemaran dan
perusakan lingkungan melalui isntrumen hukum pidana lingkungan dinilai
lemah. Hal ini disebabkan oleh kompleksnya aspek yang muncul dalam proses
penegakan hukum lingkungan. Dalam hal ini persoalan utama tidak disebabkan
oleh faktor bukti semata, tetapi lebih banyak dipengaruhi faktor lain di luar
lingkungan, yakni faktor politik, sosial, dan ekonomi. Penanganan pencemaran
menjadi problem pelik dan perlu upaya penanganan lintas sektoral.
Dalam hukum lingkungan pengajuan tuntutan melalui jalur pidana
dimungkinkan setelah pendekatan penyelesaian melalui hukum administrasi
negara dan hukum perdata ternyata tidak dapat menyelesaikan masalah lingkungan.
Kejahatan lingkungan berupa pencemaran lingkungan dikategorikan
sebagai tindak pidana administratif (administrative penal law) atau tindak pidana
yang mengganggu kesejahteraan masyarakat (public welfare offences). Tindak
pidana tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup sebagaimana
telah diatur dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Mengingat persoalan lingkungan sudah sedemikian mengkhawatirkan,
menurut Hamzah ketentuan sanksi pidana terhadap pencemaran lingkungan
harus dirubah dari ketentuan yang sifatnya ultimum remidium, yang menganggap
bahwa pelanggaran hukum lingkungan belum merupakan persoalan yang serius
menjadi premium remidium2 yang menjadikan sanksi pidana sebagai instrumen
yang diutamakan dalam menangani tindak perbuatan pencemaran atau perusakan
lingkungan. Pilihan jatuh pada hukum pidana jika suatu kerusakan tidak
dapat diperbaiki atau dipulihkan, misalnya penebangan pohon, pembunuhan
terhadap burung atau binatang yang dilindungi. Perbaikan atau pemulihan
kerusakan termasuk tidak dapat dilakukan secara fisik. Demikian juga Loby
Loeqman berpendapat sama dan tampaknya pendapatnya tidak terakomodasi
dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup karena
1 Ton Dietz, 1998, Pengakuan Hak atas Sumber Daya Alam, Pengantar Dr. Mansour Faakih,
Refleksi Gerakan Lingkungan, Remdec, Insist Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998,
hal ix-x.
2 Hamazah, Op. Cit., 1995, hal 82.
224 Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 2, September 2005: 221 - 237
undang-undang tersebut masih menjadikan ketentuan sanksi pidana sebagai
ultimum remidium.3
Namun menurut Muladi untuk saat sekarang ketentuan pidana dijadikan
sebagai instrumen premium remidium masih belum perlu karena sanksi yang
lain, seperti administrasi dan perdata masih bisa didayagunakan. Hal tersebut
sesuai dengan azas pengadilan (principle of restraint), yang merupakan salah
satu syarat kriminalisasi, dimana sanksi pidana hendaknya baru dimanfaatkan
apabila sanksi administrasi dan perdata ternyata tidak tepat dan tidak efektif
untuk menangani tindak pidana lingkungan;4
Lebih lanjut dikatakan bahwa tindak pidana lingkungan dikategorikan
sebagai adminstrative penal law atau public welfare offenses, yang memberi kesan
ringannya perbuatan tersebut. Dalam hal ini fungsi hukum pidana bersifat menunjang
sanksi-sanksi administratif untuk ditaatinya norma-norma hukum administrasi.
Dengan demikian, keberadaan tindak pidana lingkungan sepenuhnya
tergantung pada hukum lain.
Kondisi semacam itu wajar, namun mengingat betapa pentingnya lingkungan
hidup yang sehat dan baik, dan kedudukannya sebagai tindak pidana ekonomi
serta kompleksitas kepentingan yang dilindungi tersebut di atas, baik yang bersifat
antroposentris maupun ekosentris, maka ketentuan khusus (specific crimes) perlu
dilengkapi dengan tindak pidana lingkungan yang bersifat umum dan mandiri
terlepas dari hukum lain yang dinamakan generic crime atau core crime.
Dalam perumusan tindak pidana lingkungan, hendaknya selalu diingat
bahwa kerugian dan kerusakan lingkungan hidup tidak hanya yang bersifat
nyata (actual harm), tetapi juga yang bersifat ancaman kerusakan potensial,
baik terhadap lingkungan hidup maupun kesehatan umum. Hal ini disebabkan
oleh kerusakan tersebut sering kali tidak seketika timbul dan tidak dengan
mudah pula untuk dikuantifikasi. Sehubungan dengan itu untuk generic crime
yang relatif berat, sebaiknya memang dirumuskan sebagai tindak pidana materiil,
dalam hal ini akibatnya merupakan unsur hakiki yang harus dibuktikan. Namun
demikian, untuk tindak pidana yang bersifat khusus (specific crimes) yang
melekat pada hukum administratif dan relatif lebih ringan, maka perumusan
bersifat formil tanpa menunggu pembuktian akibat yang terjadi dapat dilakukan.
Sikap batin yang menjadi elemen tindak pidana tersebut dapat mencakup per-
3 Ibid
4 Muladi, Op. Cit., hal 10.
Penegakan Hukum Lingkungan pada Era Reformasi -- Absori 225
buatan sengaja (dolus knowingly), sengaja dengan kemungkinan (dolus eventualis,
recklesness) dan kealpaan (culpa, negligence).
Dalam merumuskan tindak pidana lingkungan, perlu dipertimbangkan
adanya dua macam elemen, yakni elemenen material (material element) dan
elemen mental (mental element). Elemen material mencakup pertama, adanya
perbuatan atau tindak perbuatan sesuatu (omission) yang menyebabkan terjadinya
tindak pidana; dan kedua, perbuatan atau tidak berbuat yang melanggar
atau bertentangan dengan standar lingkungan yang ada. Elemen mental mencakup
pengertian bahwa berbuat atau tidak berbuat tersebut dilakukan dengan
sengaja, recklessness (dolus eventualis atau culpa gravis) atau kealpaan (negligence).
Pembagian ini biasa dikenal dalam sistem hukum Anglo Saxon, sedang
hukum Indonesia banyak dipengaruhi sistem hukum kontinental, membedakan
kategori-kategori kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa).
KEGAGALAN LEMBAGA PENGADILAN
Dari segi instrumen hukum, sekalipun undang-undang lingkungan, telah
mencantumkan ketentuan ganti rugi yang begitu besar, dan sanksi hukuman
yang begitu berat, namun ketentuan tersebut ternyata dalam praktik belum
menjamin para pencemar lingkungan dapat dijerat dengan hukuman yang
memadai. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa data persidangan sengketa lingkungan
hidup yang di pengadilan. Para pihak yang didakwa melakukan perbuatan
pencemaran lingkungan hidup dapat lolos dari jeretan hukum. Kasus
pencemaran sungai Babon, Demak, pencemaran Sungai Banger Pekalongan
dan pencemaran di Karanganyar,5 warga masyarakat yang menuntut ke
pengadilan hanya memperoleh ganti rugi yang teramat kecil dan hukuman
untuk terdakwa yang ringan.6
5 Lihat kasus persidangan pencemaran yang dilakukan terhadap PT Indorayon Utama di
PN Jakarta Pusat tahun 1989.
6 Bandingkan kasus PT.Sido Makmur di PN Sidoarjo terdakwaa dijatuhi hukuman hanya
3 bulan penjara dan terdakwa diperintahkan tidak perlu menjalankan hukuman tersebut.
Dari persidangan kasus-kasus tersebut dapat dilihat bahwa majelis hakim yang mengadili
sengketa lingkungan dibuat bingung oleh kemampuan penasehat hukum terdakwa dalam
mengajukan bukti limbah sebagai sampel pembuktian yang tidak melewati ambang batas. Hal
ini bisa terjadi disebabkan jaksa penuntut umum dan hakim sama-sama belum memahami
liku-liku perkara yang berkaitan tindakan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup.
Jaksa penuntut umum tidak mampu membantah fakta yang diajukan pihak terdakwa dan
majelis hakim tidak berupaya untuk menguji keadaan yang meragukan secara lebih mendalam.
226 Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 2, September 2005: 221 - 237
Menurut Hamrat Hamid7 dalam kasus persidangan sengketa lingkungan,
mestinya perlu dipertimbangkan, pertama, motif atau alasan terdakwa. Kedua,
kesungguhan terdakwa dalam melakukan pencegahan tercemar atau rusaknya
lingkungan hidup. Ketiga, besar kecilnya bencana atau bahaya terhadap jiwa
atau kesehatan manusia. Keempat, besar-kecilnya perhatian, keperdulian, dan
bantuan perusahaan tersebut pada masyarakat sekitar, terutama masyarakat
ekonomi lemah. Kelima, ada tidaknya peringatan atau teguran dari aparat atau
instansi pemerintah yang berwenang.
Persoalan penegakan hukum lingkungan terkait dengan pemberdayaan
penegakan hukum lingkungan meliputi pengembangan sistem satu atap (one
roof enforcement system) dan pola greening the bench untuk membuat peradilan
yang lebih mumpuni di bidang lingkungan. Dalam hal sistem pemberdayaan
satu atap, PPNS, polisi, dan kejaksaan terpilih berada dalam satu atap Kementerian
Lingkungan Hidup, dan instansi pengelolaan lingkungan hidup di daerah.
PPNS dan polisi terpilih sebagai penyidik khusus bekerja sama dengan jaksa
khusus lingkungan untuk mentargetkan kasus lingkungan tertentu yang layak
dibawa ke pengadilan. Untuk itu diperlukan hakim bersertifikat hukum lingkungan
untuk menangani kasus lingkungan. Di samping itu, bisa saja diangkat
hakim khusus dari kalangan ahli atau pakar lingkungan.8
Dalam masalah lingkungan hidup, pembalasan sebagaimana dikenal
dalam hukum pidana hanya memberikan sedikit penawar kepada masyarakat
yang mengalami kerusakan lingkungan, yaitu dengan dipidananya pelaku pencemaran
atau perusak lingkungan. Sekalipun ada pemidanaan, kerusakan lingkungan
sudah terjadi dan tidak akan pulih, atau apabila amar putusan pengadilan
mengharuskan pelaku untuk memperbaiki kerusakan, maka prosesnya
akan memakan waktu yang lama. Penyelesaian masalah lingkungan dapat
dilakukan dengan pola kerja sama dengan cara membentuk semacam “komunitas
penanggulangan kerusakan”, yang di dalamnya terhimpun unsur pemerintah
dan pengusaha untuk mencoba mencari jalan keluarnya.9
7 Hamrat Hamid, Op. Cit., hal 17.
8 Masukan ICEL dalam menanggapi usulan Formula 12 untuk Penegakan Hukum
Lingkungan yang Disampaikan Menteri Lingkungan Nabiel Makarim yang akan menunjuk
12 hakim khusus dan 12 jaksa khusus yang akan menagani masalah lingkungan.
9 Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonsia, Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, hal. 196.
Penegakan Hukum Lingkungan pada Era Reformasi -- Absori 227
Menurut Emil Salim persoalan lingkungan dalam kerangka pembangunan
berkelanjutan tidak lepas dari mekanisme pasar yang tidak menangkap isyarat
sosial dan lingkungan. Karena itu, perlu mengoreksi kekurangannya untuk
mengimbangi pembangunan sosial dan lingkungan dengan pembangunan
ekonomi. Intervensi dapat dilakukan oleh lembaga segitiga yang sebangun, yakni
Pemerintah, Pengusaha, dan Masyarakat Madani. Antara ketiga kekuatan
terdapat hubungan “check and balance” pada tingkat yang sama sehingga
kepentingan ketiga kekuatan tersebut bisa dipelihara keseimbangnya.10
Agar ketiga kekuatan berfungsi seimbang diperlukan norma, kelakukan
dan pengaturan yang memuat beberapa prinsip pokok, pertama, aturan hukum
yang memungkinkan keterlibatan dan ketermasukan seluas mungkin anggota
masyarakat berperan dalam pembangunan; kedua, aturan hukum yang memungkinkan
pasar berfungsi sebaiknya membimbing masyarakat ketingkat efisiensi
tinggi; ketiga, aturan hukum yang mengembangkan good governance (pemerintah,
bisnis, dan masyarakat) untuk mengoreksi kelemahan pasar; keempat, aturan
hukum untuk mengelola mediasi dan konflik, dan kelima, aturan hukum mengembangkan
transparansi sebagai perangkat ampuh mendorong keterbukaan
untuk mencegah korupsi, kolusi dan nepotisme.11
PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN DAN INTERVENSI
KEPENTINGAN
Menurut Stephen Trudgill, faktor penghambat terakhir dalam dalam mengatasi
masalah lingkungan adalah faktor politik, setelah faktor hambatan sosial,
ekonomi, teknologi, pengetahuan, dan kesepakatan. Faktor kesepakatan berkisar
pada tidaksepemahaman dalam masalah benar-benar ada dan seberapa pentingnya
masalah tersebut bagi para pihak, bahkan ketika kasus tersebut sudah disepakati
sebagai masalah yang harus dipecahkan, konsensus tentang cakupan dan caracara
pencapaian penyelesaian serta tujuaan akhirnya yang harus dicapai.12
Ketika hambatan kesepakatan sudah terlewati, hambatan pengetahuan
memunculkan pertanyaan selanjutnya, apakah tersedia cukup bukti dan
10 Emil Salim, 2003, Agenda Bangsa, Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional
VIII, Badan Pembinaan hukum Nasional Departemen Hukum Nasional, Bali 14-18 Juli, hal.
3-4.
11 Ibid.
12 Stephen Trudgill dalam Budi Widianrko. 2004, Bias Politik dalam Kasus Pencemaran,
Kompas, 31 Juli.
228 Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 2, September 2005: 221 - 237
pengetahuan yang memadai tentang penyebab, proses terjadinya, dan dampak
masalah itu? Setelah hambatan pengetahuan teratasi, pertanyaan muncul
berikutnya apakah kita memiliki sarana untuk memecahkan masalah itu?
Puncak dari semua hambatan adalah hambatah sosial, ekonomi, dan politik
menghadang penyelesaian masalah lingkungan. Ketiga hambatan terakhir ini
saling terkait dan merupakan faktor-faktor penentu dalam menyelesaikan
masalah lingkungan. Dalam banyak kasus sering kali terjadi penekanan yang
berlebihan terhadap faktor sosial, ekonomi, dan politik, sehingga kebenaran
pengetahuan ilmiah terpaksa dikorbankaan. Akibatnya, sudah jelas kepentingan
lingkungan dikalahkan oleh kepentingan sosal, ekonomi, dan politik yang nota
bane hasil kreasi manusia sepenuhnya.13
Dalam hal ini kinerja dan kebijakan pemerintah dalam menangani
masalah lingkungan sangat ditentukan oleh ciri pluralisme dan inkrementalisme.
Pluralisme dimaknai sebagai suatu bentuk pengambilan kebijakan publik yang
diambil melalui tawar menawar, kompromi, dan negosiasi di antara kelompok
kepentingan dalam masyarakat. Sementara dalam rezim inkrementalisme
kebijakan publik diambil hanya berdasarkan beberapa alternatif yang sifatnya
terbatas. Pengaruh politik tidak lepas dari imbal pengorbanan (trade-off), tawarmenwar
dan kompromi antar kekuatan kepentingan. Tidak bisa dipungkiri di
negara manapun termasuk Indonesia, yang didominasi kapitalisme selalu
terdapat bias ideologi yang lebih memihak pada pembangunan ekonomi sebagai
mainstream yang lebih mengutamakan kepentingan investasi dan mengabaikan
kepentingan lingkungan.14
Hal ini amat jelas terlihat dalam penanganan kasus penyelesaian
pencemaran lingkungan Teluk Buyat, Sulawesi Utara. Dalam penanganan kasus
pencemaran Teluk Buyat, Duta Besar Amerika Serikat, Ralp L Boyce meminta
pemerintah Indonesia supaya tidak menahan Direktur PT Newmont Minahasa
Raya, Richard B. Ness ketika mengunjungi Presiden Megawati dan Kapolri.
Da’i Baktiar dengan alasan dapat mengganggu iklim investasi di Indonesia.
Sikap duta besar Amerika Serikat tersebut dinilai sebagai bentuk intervensi
kepentingan politik dan ekonomi terhadap proses hukum yang sedang dijalankan
oleh aparat penegak hukum Indonesia. Tak pelak lagi, sikap Dubes Amerika
Serikat tersebut mendapat reaksi keras dari sejumlah LSM dan Ormas, termasuk
13 Ibid.
14 Ibid.
Penegakan Hukum Lingkungan pada Era Reformasi -- Absori 229
Organisasi Keagamaan Muhammadiyah. Ketua LBH Kesehatan, Iskandar
Sitorus menuding bahwa Amerika Serikat telah mengintervensi proses hukum
yang sedang dijalankan Polri dengan dalih akan mengganggu iklim investasi
baru di Indonesia. Sementara itu ketua Muhammadiyah Syafii Ma’arif pada
waktu itu menyatakan bahwa Polri tidak perlu terpengaruh dengan tekanan
dari Amerika. Polri harus berpegang pada fakta hukum dan proses yang
berdasarkan ketentuan hukum yang ada agar bangsa memiliki martabat. Karena
itu sekalipun Indonesia sangat bergantung pada Amerika Serikat, karena masalah
utang dan investasi, bukan berarti harus merendahkan kedaulatan dan
harga diri sebagai bangsa di mata luar negeri.
Setelah Presiden Megawati diganti dengan Susilo Bambang Yudono,
harapan masyarakat kembali muncul yang ditandai janji-janji yang dilontarkan
pada beberapa kesempatan, termasuk pada waktu kampanye Pemilu. Dalam
kesempatan menyampaikan visi, misi, dan program calon presiden menjelang
pelaksanaan Pemilu Presiden 2004, paket Calon Presiden dan Wapres Susilo
Bambang Yodoyono-Yusuf Kalla, yang sekarang menjadi Presiden-Wakil Presiden
terpilih meyampaikan pandangannya di bidang pembangunan hukum lingkungan,
yakni pertama, menegakan hukum dan menyerasian aturan mengenai
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan; kedua, menciptakan sistem
intensif dan disintensif yang tegas dalam pengeloaan sumber daya alam dan
lingkungan; ketiga, memperbaiki koordinasi lintas departemen dalam pengendalian
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan; keempat, melibatkan
masyarakat lokal dan gerakan masyarakat sipil (civil society) secara sistemik
dalam upaya pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, dan kelima,
menindak secara tegas dan efektif praktik-praktik penyelewengan pengawasan
dan pengendalian pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang dilakukan
oleh aparatur birokasi.
Dari platform yang disampaikan presiden dan wakil presiden terpilih, tampak
bahwa apa yang akan dikerjakan terdapat keinginan untuk menempatkan
persoalan penegakan hukum lingkungan sebagai prioritas utama. Di samping
itu, terdapat keinginan untuk mensinergikan antara persoalan sumber daya alam
dan lingkungan melalui kebijakan pembaruan hukum sumber daya alam dan
lingkungan hidup. Di samping itu, terdapat keinginan kuat untuk memberdayakan
masyarakat lokal dan gerakan masyarakat sipil (civil society) sebagai satu kesatuan
yang sistemik dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Dalam rangka membantu pemerintah Susilo Bambang Yudoyono-Yusuf
Kalla menyusun program l00 hari di bidang lingkungan hidup, Koalisi Ornop
230 Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 2, September 2005: 221 - 237
berusaha menyususun enam agenda kunci untuk mengatasi kerusakan lingkungan,
terutama berkaitan penanganan illegal logging. Agenda kunci tersebut
berisi pertama, menyususun gugus tugas (task force) illegal logging yang proaktif
dengan melaporkan secara langsung kepada presiden. Kedua, membentuk
pengadilan adhoc, dengan jaksa yang memiliki komitmen dan tanggung jawab
tinggi dan hakim terpercaya. Ketiga, menghukum para cukong, perusahaan dan
aparat yang terlibat turut dalam perusakan lingkungan. Keempat, membuat
peraturan yang membolehkan bukti visual sebagai bukti yang dapat digunakan
ke pengadilan adhoc. Kelima, membarui perjanjian bilateral dengan berbagai
negara yang terkait dengan upaya untuk mengatasi illegal logging. Keenam,
mengesahkan peraturan tentang pengalihan hasil uang dari lelang kayu ilegal
untuk aktivitas penegakan hukum lingkungan.
Ketika Susilo Bambang Yudoyono-Yusuf Kalla berkuasa upaya untuk
melakukan penegakan hukum lingkungan dan penanganan berbagai kasus
lingkungan belum menunjukan hasil yang menggemberikan. Pemerintah dinilai
oleh kalangan aktivis lingkungan hanya mengurusi masalah politik dan sibuk
mengeluarkan kebijakan ekonomi tanpa ada keberpihan pada lingkungan.
Akibatnya persoalan lingkungan, seperti kasus pencemaran Buyat, illegal logging,
kebakaran hutan, pencemaran dan perusakan lingkungan di sejumlah
daerah tidak dapat ditangani secara tuntas. Kebijakan pemerintah yang tidak
memihak pada lingkungan berakibat pada terjadinya berbagai peristiwa atau
musibah bencana alam yang terus terjadi secara beruntun di berbagai tempat
di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Gambaran tersebut menunjukan adanya indikasi bahwa bekerjanya
lembaga pengadilan dan penegkan hukum lingkungan di Indoensia masih amat
dipengaruhi kepentingan politik, sebagaimana dikatakan oleh Stanlay Diamond,
15 terpuruknya penegakan hukum di berbagai negara berkembang,
termasuk di Indonesia sangat berkaitan dengan kultur dan kondisi politik suatu
masyarakat. Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa produk hukum
dan penegakannya amat dipengaruhi kepentingan politik.
Roberto M. Unger16 mengatakan bahwa pemahaman hukum tidak bisa
bebas dari konteksnya. Hukum bekerja tidak di ruang hampa tetapi bekerja
15 Stanlay Diamon dalam M. Mihradi, 2002,Menelaah Kebijakan Penegakan HAM, Jurnal
Keadilan, Vol 2 No. 2, hal 21.
16 Roberto M Unger, 1999, The Critical Legal Studies Movement (1983), diterjemahkan
Ifdhal Kasim, Jakarta: Elsam, hal 22.
Penegakan Hukum Lingkungan pada Era Reformasi -- Absori 231
dalam realitas yang tidak netral dari pengaruh lain, dan nilai yang ada di
belakangnya adalah subjektif. Hukum bukanlah sesuatu yang terjadi secara
alamiah, melainkan dikontruksi secara sosial. Karena itu, penggunakan hukum
yang hanya bersifat formal akan gagal untuk mengatasi problem kemasyarakatan.
Dia mencoba mengetengahkan visinya mengenai tatanan masyarakat dan
tatanan hukum masa mendatang melalui gerakan aktivitas transformatif yang
dilakukan atas dasar hak-hak individu yang dilindungi hukum dan menyadarkan
birokrasi kekuasan untuk bekerja dengan penuh tanggung jawab.17
Lembaga pengadilan dalam melakukan penegakan hukum lingkungan
sarat dengan pertimbangan kepentingan politik dan ekonomi. Alasan yang
dijadikan dasar dalam menjatuhkan keputusan bukan semata pertimbangan
ketentuan aturan hukum sebagaimana yang diatur dalam undang-undang
lingkungan tetapi lebih banyak didasarkan alasan agar keputusan yang dijatuhkan
tidak mengganggu iklim investasi dan tidak terjadi penutupan perusahaan
yang berakibat adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi buruh. Kalau
terjadi pemutusan hubungan kerja bisa mengakibatkan instabilitas daerah dan
kerawanan sosial. Alasan pertimbangan tersebut terkesan mengada-ada dan
sengaja dikemukakan oleh perusahaan dan pemerintah dan terbukti dapat
mempengaruhi majelis hakim penjatuhan keputusan hukum bagi pihak yang
bersengketa di pengadilan sehingga menyebabkan keputusannya tidak adil.
Sekalipun demikian, majelis hakim atau lembaga pengadilan yang
menjatuhkan keputusan merasa tidak bersalah, terbukti beberapa kajian
keputusan yang dilakukan perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat
melalui eksaminasi publik yang dikirimkan kepadanya atau disampaikan di
media masa tidak ditanggapi secara serius. Hal ini menandakan bahwa
pengadilan lebih mengedepankan “ego korp dan institusi” dengan berlindung
di balik dogma bahwa pengadilan bersifat independen dan mandiri yang bebas
dari pengaruh manapun, sehingga tidak mungkin keputusannya terpengaruh
oleh kekuatan pihak luar (external).
Kondisi seperti itu membuktikan bahwa lembaga pengadilan selama ini
dipahami dan menempatkan sebagai lembaga yang amat mapan dan berada
dalam budaya otoriter. Aparat penegak hukum lebih menekankan pemahaman
dan penafsiran hukum yang bersifat tunggal dengan prinsip legalitas, khususnya
17 Soetandjo dalam R. M Unger,1987, False Necessity, New York: Cambridge University
Press.
232 Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 2, September 2005: 221 - 237
dalam penegakan hukum yang lebih berorientasi pada formal justice. Karena
itu, dalam banyak kasus penyelesaian sengketa ataupun penegakan hukum di
pengadilan, keputusan-keputusan yang diambil jauh dari rasa keadilan yang
berkembang dalam masyarakat.
PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN DENGAN PENDEKATAN
HUKUM PROGRESIF
Selama ini lembaga pengadilan sebagai lembaga negara penegak keadilan
dalam melakukan penegakan hukum lingkungan dinilai tidak memberi rasa
keadilan masyarakat, dan keadilan lingkungan. Berbagai kasus penyelesaian
sengketa pencemaran lingkungan yang diajukan ke pengadilan keputusannya
amat mengecewakan masyarakat, dan jauh dari rasa keadilan. Lembaga pengadilan
dalam menyelesaikan sengketa lingkungan selama ini masih berorientasi
pada hukum formal. Analasis studi menunjukan bahwa dalam menyelesaikan
sengketa lingkungan hakim masih belum mampu keluar dari pendekatan text
books yang memahami hukum sebatas aturan yang bersifat hitam putih,
diterapkan laksana buku telepon. Hal ini dapat dilihat dari ketidakberanian
hakim untuk keluar dari rumusan ketentuan hukum perdata yang bersandar
pada Pasal 1365 KUHPerdata ataupun Pasal 34 UU No. 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam menangani gugatan masyarakat.
Hakim sama sekali tidak melihat pada petimbangan hukum lain yang
terdapat dalam asas-asas hukum yang hidup di masyarakat atau asas hukum
mempunyai kedudukan lebih tinggi, seperti prinsip pencegahan secara dini,
prinsip kehati-hatian (precautionary), prinsip pembelaan melalui “due diligence”
dan prinsip pertangungjawaban ketat (strict liability) padahal prinsip-prinsip
tersebut amat dibutuhkan untuk menjawab persoalan hukum dalam perkara
yang tidak terakomodasi dalam perundang-undangan. Di samping itu, hakim
juga tidak melihat fakta hukum yang terungkap di persidangan sehingga
keputusan hakim dalam menyelesaikan sengketa lingkungan dianggap tidak
mencerminkan rasa keadilan. Kegagalan lembaga pengadilan dalam menyelesaikan
sengketa lingkungan karena aparat penegak hukum (hakim) dalam
memahami dan menerapkan hukum baru sebatas menggunakan logika peraturan
dan prosedur yang bersifat legal formal.
Dalam artikelnya, “Indonesia Butuh Keadilan Progresif”, Satjipto
Rahardjo mengatakan kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan
melalui hukum modern disebabkan oleh permainan prosedur yang menyebabkan
timbul pertanyaan “apakah pengadilan itu tempat mencari keadilan atau
Penegakan Hukum Lingkungan pada Era Reformasi -- Absori 233
kemenangan?’ Membandingkan apa yang terjadi Amerika Serikat, yang
menggunakan extreme adversary system dalam perkara OJ Simson (1993), karena
adanya keleluasaan besar untuk bermain-main dengan prosedur. Para pembela
Simson tidak berusaha membuktikan ketidaksalahan Simson, melainkan
menyoroti prosedur penanganan kasusnya.18
Secara keseluruhan untuk bangkit dari keterpurukan di bidang hukum,
yakni penegakan dan citra lembaga peradilan yang tidak kunjung membaik
kiranya perlu untuk melakukan perenungan lebih dalam apa makna kehidupan
sosial dalam negara hukum. Untuk menjawabnya tidak cukup hanya
menggunakan logika dan perasaan, tetapi lebih dari itu bisa dipakai kecerdasan
spiritual, karena menjalankan hukum tidak sama dengan menerapkan hurufhuruf
peraturan begitu saja, tetapi harus mencari dan menemukan makna
sebenarnya dari suatu peraturan yang akan dijalankannya. Hukum bukan buku
telpon yang hanya membuat daftar peraturan dan pasal, tetapi sesuatu yang
sarat dengan makna dan nilai.19
Penegakan hukum lingkungan yang dilakukan lembaga formal, seperti
pengadilan dan pemerintah selama ini belum bergesar dari pendekaatan positivis
formal dan prosedural. Aparat penegak hukum dalam merespon dan
menyelesaikan berbagai persoalan lingkungan menunjukan sikap yang formalis,
deterministik, dan memberi peluang terjadinya perilaku eksploitatif di kalangan
pelaku usaha (investor). Instrumen hukum yang dipakai hanya berorientasi
prosedur dan tidak dapat diandalkan sebagai pilar utama untuk mengatasi problem
lingkungan, sementara pencemaran lingkungan dalam proses waktu
semakin sulit untuk dapat dikendalikan.
Karena itu, pendekatan seperti itu kiranya perlu segera diakhiri, diganti
dengan semangat pendekatan hukum progresif yang dimulai dari kesadaran
yang tumbuh dari semua kalangan yang mempunyai kepedulian terhadap lingkungan
untuk memahami bahwa persoalan lingkungan sudah mencapai tarap
yang mengkhawatirkan. Karena itu, perlu ada terapi kejut (shock therapy) yang
segera digulirkan dalam berbagai upaya dan langkah dalam rangka memberikan
dorongan yang lebih kuat lagi. Untuk mengatasinya perlu dilakukan gerakan
penyadaran secara progresif dengan melibatkan pertisipasi masyarakat, aparat
18 Kompas, 17 Oktober 2002.
19 Satjipto Rahardjo, 2002, “Menjalankan Hukum dengan Kecerdasan Spiritual”, Kompas,
30 Desember, hal 4 -5.
234 Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 2, September 2005: 221 - 237
penegak hukum, dan pemerintah akan tugas dan tangung jawabnya dalam
menyelesaikan dan memecahkan masalah-masalah lingkungan.
Dalam konteks ini untuk dapat menjalankan hukum lingkungan di tengah
masyarakat yang penuh dengan kompleksitas, dibutuhkan aparat penegak
hukum, yakni polisi, jaksa, dan hakim yang mempunyai visi, komitmen yang
kuat, dan pengetahuan yang memadai di bidang lingkungan. Karena itu, sudah
saatnya perlu dilakukan rekrutmen dan pembinaan aparat penegak secara
khusus, yang nantinya diharapkan dapat menjalankan tugas khusus dalam
menangani sengketa ataupun pengaduan masyarakat masalah lingkungan, berupa
perusakan atau pencemaran lingkungan. Hakim yang diangkat atau ditunjuk
dapat saja direkrut dari kalangan akademisi atau pakar hukum lingkungan,
praktisi yang mengetahui seluk-beluk masalah lingkungan, ataupun kalangan
aktivis yang selama ini gigih memperjuangkan lingkungan.
Di samping itu, mengingat sifat dan karakter kasus lingkungan yang
berbeda dengan kasus-kasus lainnya, dalam beberapa diskusi focus group
berkembang pemikiran perlunya model pengadilan khusus sebagai model
pengadilan yang diharapkan. Institusi pengadilan ini bisa berdiri sendiri secara
mandiri atau melekat pada pengadilan yang sudah ada yang bertugas secara
khusus menangani, memeriksa, dan memutus sengketa masalah lingkungan.
Hakim khusus yang akan menangani persoalan sengketa lingkungan harus
mempunyai pemahaman, pengetahuan dan keterampilan lebih di bidang
lingkungan. Di samping itu perlu dilakukan pembinaan yang intensif para hakim
khusus akan tugas tanggung jawabnya. Hakim diharapkan akan mampu menjalankan
hukum dengan kompleksitas yang tinggi dengan penekanan yang mengutamakan
pendekatan humanity and ecology. Dengan demikian keinginan untuk
mewujudkan keadilan masyarakat dan keadilan lingkungan dapat terwujud.
Di samping itu, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dapat melakukan
langkah-langkah terobosan dalam upaya untuk melakukan pencegahan ataupun
penanggulangan pencemaran dan perusakan lingkungan. Beberapa di antaranya
KLH dapat melakukan kerjasama dengan kepolisian dan kejaksaan untuk
menyamakan persepsi, pemahaman, dan langkah dalam rangka melakukan penegakan
hukum lingkungan dengan membentuk kerja sama penegakan hukum
lingkungan dengan manajemen satu atap yang ditempatkan di KLH. Di samping
itu, dapat dilakukan dengan cara pembinaan aparat penegak hukum, polisi,
jaksa, dan hakim dengan muatan materi hukum lingkungan. Dalam proses
peradilan yang menangani sengketa lingkungan kepada lembaga pengadilan
Penegakan Hukum Lingkungan pada Era Reformasi -- Absori 235
supaya dalam menggunakan hakim yang salah satunya harus sudah bersertifikat
di bidang lingkungan.
Sebagai langkah konkrit perlu ditawarkan kepada Kementerian
Lingkungan Hidup untuk melakukan kerja sama dengan Mahkamah Agung
untuk melakukan pembinaan hakim dengan materi yang berkaitan hukum
lingkungan. Dari pembinaan yang dilakukan para hakim yang telah menjalani
dalam waktu tertentu akan memperoleh sertifikat hakim berkeahlian hukum
lingkungan. Sebagai tindak lanjut hakim-hakim tersebut akan diprogramkan
untuk menangani sengketa lingkungan di berbagai daerah di Indonesia. Hakim
yang dinilai berhasil dalam menangani sengketa lingkungan akan dipromosikan
pada jabatan yang lebih tinggi dengan harapan akan menjadi daya tarik tersendiri
bagi hakim yang mengikuti program pembinaan tersebut.
PENUTUP
Pembinaan aparat penegak hukum yang akan melakukan penegakan
hukum lingkungan tidak hanya didasarkan peningkatan kemampuan dengan
menggunakan IQ ataupun EQ, tetapi sudah mulai diasah dengan pendekatan
SQ sebagai creative, insightful, rule-making, rule-breaking thingking. Dalam hal ini
hukum progresif yang visioner dan membebaskan sudah barang tentu berpihak
kepada SQ dalam menjalankan hukum20.
Untuk pembinanan para hakim dengan pendekatan kecerdasan spiritual
perlu diarahkan pada pembinaan moral, kejujuran, integritas, kepribadian layak
dipercaya dan mempunyai kebanggaan menjadi hakim sebagai jabatan yang
mulia. Di samping itu tidak kalah pentingnya perlu dilakukan pembinaan spiritual
berdasarkan ajaran agama yang diyakininya, yang menyadarkan bahwa
tugas hakim sarat dengan tugas keadilan yang membahasakan atas nama Allah
untuk memutus perkara dengan berdasarkan keadilan. Dengan kualitas
hakim seperti itu, seorang hakim tidak akan tergoda suap, KKN dan praktik
mafia peradilan, lebih dari itu haim akan dapat melakukan keputusan yang
benar sesuai dengan hati nurani dan nilai-nilai keadilan.
Pembinaan aparat penegak hukum (hakim) dengan pendekatan SQ, di
dalamnya terdapat penyadaran dan pesan spiritual yang dalam bahwa seorang
hakim adalah wakil (wali) Allah di muka bumi (fil ardi), ia menjalankan tugas
atas nama Allah, Tuhan semesta alam untuk menjaga dan menyelamatkan
20 Satjipto Rahardjo, Op Cit, hal 10.
236 Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 8, No. 2, September 2005: 221 - 237
kerusakan alam lingkungan yang telah dirusak oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab. Dengan demikian, apa yang dilakukan aparat penegak
hukum (hakim) semata dalam rangka menjalankan amanat mulia sebagai hamba
untuk mensejahterakan alam lingkungan, sekaligus di dalamnya terkandung
amanat pengabdian (ibadah) kepada Tuhannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Mujiono, 2001, Agama Ramah Lingkungan, Persfektif Al-Quran, Seri
Disertasi 6, Jakarta: Paramadina.
Absori, 2002, Penegakan Hukum Lingkungan pada Era Perdagangan Bebas,
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta Press.
Agustin, Ary Ginanjar, 2004, Rahasis Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual, ESQ, Emotional Spiritual Quatient, Jakarta: Penerbit Arga.
Dietz, Ton, 1998, Pengakuan Hak atas Sumber Daya Alam, Pengantar Dr. Mansour
Faakih, Refleksi Gerakan Lingkungan, Yogyakarta: Remdec, Insist Press
dan Pustaka Pelajar.
Hadi, Sudharto P., 2002, Dimensi Hukum Pembangunan Berkelanjutan, Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Hamzah, 2005, Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta: Arikha Media Cipta,
Jakarta.
Hardjasoemantri, Koesnadi, 2000, Hukum Tata Lingkungan, Yogyakarta:
Gadjahmada University Press.
Husein, Harun M., 1992, Lingkungan Hidup, Masalah Pengelolaan dan Penegakan
Hukumnya, Jakarta: Bumi Aksara.
Muladi, 1998, Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Pidana Lingkungan dalam Kaitannya
dengan UU No. 23 Tahun 1997, Makalah Seminar Fakultas Hukum
UNDIP, Semarang, tanggal 21 Pebruari.
Rahardjo, Satjipto, 1997, Pembangunan Hukum Nasional dan Perubahan Sosial,
dalam Identitas Hukum Nasional, dalam Artidjo Alkostar (Ed),
Yogyakarta: Fakultas Hukum UII.
Penegakan Hukum Lingkungan pada Era Reformasi -- Absori 237
Sugianto, Indro, 2003, “Mensinergikan Kekuatan Masyarakat Sipil dalam
Penegakan Hukum Lingkungan”, Makalah Diskusi Panel, Kerja sama
Program Magister Ilmu Lingkungan Undip dengan Kementerian
Lingkungan Hidup, Semarang, 11 Nopember.
Sale, Kirkpatrick, 1996, Revolusi Hijau, Sebuah Tinjauan Historis-Kritis Gerakan
Lingkungan Hidup di Amerika Serikat, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Santoso, Mas Akhmad,2001, Good Governance dan Hukum Lingkungan, Jakarta:
ICEL.
Usman, Rachmadi, 2003, Pembaharuan Hukum Lingkungan Nasional, Bandung:
Citra Aditya Bakti.

Categories: